Anak Muda dan Rekonsiliasi
Rekonsiliasai Tragedi ‘65 Sebagai
Respon
Tantangan Historiografi
Masyarakat umumnya
sudah terlanjur menganggap sejarah itu statis, hanya menyangkut hafalan nama, kejadian
suatu peristiwa, maupun masa pemerintahan presiden. Itu jelas salah. Sebaliknya,
sejarah itu dinamis, semakin banyak data yang bermunculan atau baru, maka
semakin “ramailah” sejarah. Namun sejarah juga tidak luput dari pengaruh
penguasa. Ya, kita tengok saja tragedi Gerakan 30 September (G 30 S) yang
semula seragam karena hanya “diramaikan” oleh PKI dan kawan-kawan (BTI, SOBSI,
Lekra, Gerwani,dan sebagainya) kini ABRI, CIA (Amerika Serikat), Soekarno,
Soeharto, dan konflik intern AD pun ikut “meramaikannya”. Lengser keprabonnya Soeharto, memunculkan data-data yang baru. Tragedi
ini menjadi beragam, terlebih dengan dikuaknya kejadian pasca G 30 S, juga
dampak bagi orang-orang yang di cap komunis itu sendiri. Momen kejatuhan Orba
pun dijadikan kesempatan oleh para intelektual yang peduli akan sejarah untuk
meluruskan apa yang sebenarnya terjadi, walaupun ada juga yang
menyalahgunakannya dengan menghujat. Namun begitu, rekonsiliasi sejarah lebih
bijak daripada hujatan ataupun kepentingan pribadi.
Pendahuluan
“Pada hari Kamis malam,
tanggal 30 September 1965 PKI mulai melancarkan gerakan perebutan kekuasaan
dengan nama Gerakan 30 September atau kemudian dikenal dengan G-30-S/PKI”.
Itulah kalimat pertama yang tercantum dalam buku 30 Tahun Indonesia Merdeka
jilid III bab Gerakan 30 September. Dalam buku Gerakan 30 September
Pemberontakan PKI karangan Sekretariat Negara pada masa Orba pun menceritakan tragedi
penculikan para jenderal yang dianggap Dewan Jenderal oleh PKI tersebut secara
terkesan “asal-asalan” mengapa Saya sebut demikian? tuturan mengenai
kronologinya hampir semuanya sama, bahkan waktu penculikan pun dipukul rata,
yakni pukul 03.00. padahal menurut kesaksian Amelia Yani¹ bahwa para penculik
datang sekitar pukul 04.30.
Otomatis buku-buku pelajaran disekolah (pada
waktu itu masih bernama PSPB) versinya tidak berbeda dengan buku-buku versi pemerintah.
Karena disamping yang boleh terbit adalah “buku-buku pemerintah”, juga karena
penguasa yang tidak segan-segan “menghabisi” orang yang menentangnya. Akibatnya
dalam pelajaran sejarah, baik itu mengenai G 30 S, Supersemar, atau yang
lainnya terkesan statis. Dengan kata lain materi yang diterima dari SD sampai
SMA tidak berubah.
Pun pengalaman Saya yang mulai bersekolah
ketika Orba mulai runtuh. Karena dibesarkan keluarga abtenar, semasa kecil Saya disosialisasikan mengenai kebesaran-kebesaran
pemerintah Orba dan PKI sebagai durnonya,
yang jika mendengar namanya saja, masyarakat serasa ingin menghabisinya. Sehingga
baik yang disosialisasikan disekolah maupun lingkungan keluarga, itu tidak
berbeda.
Beberapa Narasi Singkat Mengenai Tragedi
G 30 S Selepas Reformasi
Tahun 1998 Presiden Soeharto
lengser keprabon. Orba telah runtuh.
Para intelektual yang peduli sejarah bangsanya mulai bicara. Mereka yang pada
masa Orba mendekam di penjara karena dianggap melawan mulai menguak apa-apa
yang diputarbalikan pemerintah. Namun begitu, secara kasat mata para
intelektual yang muncul tersebut membeberkan sejarah seolah-olah tidak “berdiri
ditengah-tengah” Berikut adalah beberapa narasi singkat mengenai dalang tragedi
tersebut.
· PKI
Banyak
para saksi sejarah, baik itu yang menjadi sasaran pembantaian, maupun dari
pihak pembantai sendiri, berbicara mengenai tragedi 65 (maupun
pembantaian-pembantaian lainnya yang menyangkut dengan PKI, yakni Kanigoro, dan sebagainya) diantaranya kesaksian
Eni binti Madah seorang anggota Gerwani yang dalam pengakuannya menyatakan Ia
diperintahkan menari-nari setengah telanjang mengelilingi ruang piket sambil
memukuli para tawanan (para perwira tinggi AD). Ia mengetahui waktu itu didalam
sumur sudah terdapat dua orang. Ia pun mengaku ikut memasukkan Soetoyo²,
Soeprapto³, Parman4, dan Pierre5 ke dalam sumur tua.
Sebelumnya, bersama Aisah dan Tati6 Ia menari-nari mengelilingi Pierre.
Dia mengaku melihat dengan mata kepala sendiri penganiayaan, pemotongan alat
vital Pierre oleh Jamilah7.
Dalam
wawancara lain, salah seorang Gerwani menyatakan bahwa Jamilah ketika menyiksa
para jenderal tersebut berkata “inilah darah kabir”8. Dan masih banyak saksi yang lain.
Satu lagi, bahwa pemimpin pelaksana teknis G 30 S Letkol Untung Syamsuri adalah
seorang PKI. Walaupun begitu, Untung menyebut tindakannya sebagai pencegahan
terhadap tindakan kudeta yang akan dilakukan oleh sejumlah jenderal AD. Dalam
versi ini pun terdapat kelemahan, di situ PKI hanya terlihat dalam teknis
peristiwa tersebut, bukan merupakan dalang. Lalu banyak pakar politik yang
berpendapat bahwa jika memang PKI ingin mengudeta pemerintahan, itu tidak masuk
akal, mengingat presiden Soekarno yang pro PKI, dan posisi PKI pada waktu itu
sudah cukup mendominasi perpolitikan negeri.
· Soekarno
Tahun
1964-1965 merupakan tahun viverepericoloso9, terutama sekitar tragedi
65. Tentunya yang melibatkan jajaran pemerintah, ABRI, PKI, Peking, sampai para
buruh dan petani yang direncanakan sebagai angkatan ke V. BK10 sebagai
orang nomor satu pada tahun tersebut tidak luput dari perhatian atas kejadian G
30 S. tentunya dengan pertanyaan siapakah yang bertanggung jawab dalam masalah
ini?
Kembali
pada masalah dalang G 30 S. salah satu pernyataan mengejutkan dalam sebuah biografi
Soekarno : Pada tanggal 29 September, Soekarno dalam rapat umum yang dihadiri
oleh para mahasiswa telah berseru untuk “mengganyang para jenderal yang menjadi
pembela elemen-elemen kontrarevolusioner” (Kapitsa dan Maletin, 2009 : 299).
Spekulasi pun muncul, apakah pernyataan ini ditujukan kepada para perwira AD
yang menjadi korban G 30 S? mengingat pelaksana teknis tersebut (Untung)
diisukan membentuk DR11 yang mendukung Soekarno untuk melawan DJ12
yang diisukan berisi para perwira tinggi AD. Juga keberadaannya di Halim13
ketika pagi tanggal 1 0ktober 1965. Namun jika melihat bahwa G 30 S adalah
sebuah kudeta, maka kontra dengan keadaan BK sebagai presiden. Dengan kata lain
muncul pertanyaan apakah mungkin presiden mengudeta sendiri?
· Soeharto
Dalam
versi ini Asvi Warman Adam menyebutnya dengan kudeta merangkak yang dilakukan Soehrto.
Soebandrio pun demikian. Jika merunut dari kejadian memang berkaitan. Sebelum
kejadian, Untung dan Abdul Latief14 menemui Soeharto yang sedang menunggui
Hutomo15 yang sedang terbaring dirumah sakit. Hubungan keduanya jelas,
mereka adalah anak buah Soeharto ketika di kodam Diponegoro. Hal ini dapat disimpulkan
secara logika bahwa Soeharto mengetahui rencana Untung, tetapi sebagai
dalangnya? belum bisa dipastikan. Tidak dijadikannya sasaran pembunuhan adalah
salah satu pendukung versi ini, padahal Ia mempunyai posisi strategis dalam AD.
Berbeda dengan Baskara, walaupun sependapat dengan Asvi, namun Ia lebih
menekankan pada kejadian yang menimpa orang-orang PKI pasca G 30 S.
· CIA
Agen
intelijen Amerika ini sudah pasti mempunyai kepentingan politik di Indonesia.
Mengingat pada tahun 60an sedang memuncaknya perang dingin, Ditambah dengan fakta musuh nomor satu BK adalah
imperialisme-kapitalisme. Sebagaimana AS adalah “budaknya”. Otomatis pihak AS
menganggap BK komunis. Faktanya memang BK lebih dekat dengan US16 daripada
AS. Dengan maksud ingin mempersempit gerak komunis dan Soekarno, AS memberikan
bantuan persenjataan kepada AD. Namun dubes AS menyangkalnya.
· Konflik Internal AD
Dalam
versi ini dihubungkan dengan isu pembentukan DJ sebagai pihak yang akan
mengudeta BK, juga pembentukan DR oleh Untung sebagai tandingan DJ. Isu DJ sendiri
muncul dari Dokumen Gilchrist yang seolah-olah terlihat kerjasama AD dengan
pihak Inggris.
Berdiri di Antara Dualisme Subjektivitas dan Objektivitas
Seorang dosen sejarah
menyatakan sulit “berdiri ditengah-tengah” dalam sejarah. Saya akui demikian.
Sejak kecil sampai SMA Saya dididik oleh keluarga pensiunan PNS Kawedanan yang
notabene lulusan salah satu pesantren di Semarang. Dengan latar belakang
demikian, kira-kira sudah ketahuan bagaimana dalam menyikapi PKI. Secara subjektif,
karena memang sejak kecil Saya diberi frame
demikian, maupun mengenai saksi hidup sejarah, lebih condong kepada PKI,
dengan catatan sebagai pelaksana teknisnya. Terlepas dari kejadian tersebut,
sebenarnya ada satu hal yang lebih hebat dari G 30 S, namun jarang sekali
dipermasalahkan. Ya, pembantaian orang-orang yang dianggap PKI khususnya di Jawa
Tengah, Jawa Timur ,dan Bali pada tiga bulan terakhir tahun yang sama. Nahasnya,
pada masa Orba “anak cucu” PKI dikucilkan, dimusuhi, dijauhi, bahkan mungkin
diperangi.
Kini zaman Orba telah
berlalu. Baskara menyatakan sejarah yang semula seragam menjadi beragam.
Walaupun realitanya tidak 100% beragam. Mengapa? Nyatanya banyak buku-buku
sekarang yang mengangkat data-data baru namun isinya hanya fokus untuk
menghujat pihak tertentu. Jika demikian maka apa bedanya dengan sejarah yang
seragam? Ketika Ratna Sari Dewi17 berkomentar mengenai G 30 S yang
dengan enteng dan terkesan hanya menghujat, timbul reaksi Anhar Gonggong, yang
menyatakan “janganlah menulis sejarah karena dendam” memang begitulah
seharusnya, khusunya sebagai orang yang peduli sejarah, janganlah menulis
sejarah karena dendam, “berdirilah ditengah-tengah”, ceritakan apa adanya
dengan dasar atau data-data yang ada.
Catatan kaki
1.
Putri
Letjend Ahmad Yani yang menjadi saksi mata penculikan
2.
Brigjend
Soetoyo Siswomihardjo
3.
Mayjend
R. Soeprapto
4.
Mayjend
Suwondo Parman
5.
Lettu
Pierre Andreas Tendean
6.
Anggota
Gerwani
7.
Salah
satu anggota Gerwani
8.
Kabir
: Kapitalis Birokrat (yang ditujukan untuk para perwira tinggi/korban G 30 S)
9.
Tahun
dimana terdapat berbagai masalah yang serba sulit
10. Bung Karno
11. Dewan Revolusi
12. Dewan Jenderal
13. Lanud Halim Perdana Kusumah yang dikabarkan
sebagai markas G 30 S
14. Salah seorang pemimpin pelaksana teknis G 30
S
15. Hutomo
Mandala Putra atau Tommy Soeharto
16. Uni
Soviet
17.
Atau Naoko Nemoto, istri presiden Soekarno yang berasal dari Jepang
Daftar pustaka
Adam,
Asvi Warman (2009) Membongkar Manipulasi Sejarah. Jakarta : Buku Kompas.
Iskandar,
Mohammad,dkk (2007) Sejarah Indonesia Dalam Perkembangan Zaman : Pelajaran
Sejarah Untuk SMA Kelas XII Program IPS. Jakarta : Ganesa Exact
Kapitsa,
M. S. dan Maletin, N. P. (2009) Soekarno : Biografi Politik. Bandung : Ultimus
Proyek Historiografi
(1999) Gerakan 30 September, Antara Fakta
dan Rekayasa : Berdasarkan Kesaksian Para Pelaku Sejarah. Yogyakarta : Media Pressindo.
Sekretariat
Negara Republik Indonesia (1985) 30 Tahun Indonesia Merdeka jilid III. Jakarta :
Citra Lamtoro Gung Persada.
Sekretariat Negara RI (1994) Gerakan 30 September Pemberontakan PKI : Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya.
Jakarta : Sekretariat Negara Republik Indonesia.
Stanley dan
Santoso, Aris (2005) Soe Hok Gie : Zaman Peralihan. Jakarta : Gagas Media
Suwarno,
P.J. (2009) Rajawali Kemusuk Menjelajah Nusantara. Yogyakarta : Penerbit
Universitas Sanata Dharma
Wardaya,
Baskara T. (2008) Mencari Supriyadi : Kesaksian Pembantu Utama Bung Karno.
Yogyakarta : Galang Press
Wardaya, Baskara T. (2009) Bung Karno Menggugat! Dari Marhaen, CIA, Pembantaian Massal ’65 hingga G 30 S
(edisi revisi). Yogyakarta : Galang Press.
Zara, M.
Yuanda (2008) Ratna Sari Dewi Soekarno : Sakura di Tengah Prahara. Yogyakarta :
Ombak
Radar
Banjarmasin edisi 19 September 2010. Amelia Yani, saksi hidup G 30 S : Ingin
Peluk Bapak, Malah Ditodong Senjata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar