Minggu, 30 September 2012

"Rekonsiliasi" Tragedi 65


Anak Muda dan Rekonsiliasi


Rekonsiliasai Tragedi ‘65 Sebagai Respon
Tantangan Historiografi


            Masyarakat umumnya sudah terlanjur menganggap sejarah itu statis, hanya menyangkut hafalan nama, kejadian suatu peristiwa, maupun masa pemerintahan presiden. Itu jelas salah. Sebaliknya, sejarah itu dinamis, semakin banyak data yang bermunculan atau baru, maka semakin “ramailah” sejarah. Namun sejarah juga tidak luput dari pengaruh penguasa. Ya, kita tengok saja tragedi Gerakan 30 September (G 30 S) yang semula seragam karena hanya “diramaikan” oleh PKI dan kawan-kawan (BTI, SOBSI, Lekra, Gerwani,dan sebagainya) kini ABRI, CIA (Amerika Serikat), Soekarno, Soeharto, dan konflik intern AD pun ikut “meramaikannya”. Lengser keprabonnya Soeharto, memunculkan data-data yang baru. Tragedi ini menjadi beragam, terlebih dengan dikuaknya kejadian pasca G 30 S, juga dampak bagi orang-orang yang di cap komunis itu sendiri. Momen kejatuhan Orba pun dijadikan kesempatan oleh para intelektual yang peduli akan sejarah untuk meluruskan apa yang sebenarnya terjadi, walaupun ada juga yang menyalahgunakannya dengan menghujat. Namun begitu, rekonsiliasi sejarah lebih bijak daripada hujatan ataupun kepentingan pribadi.

 Pendahuluan

            “Pada hari Kamis malam, tanggal 30 September 1965 PKI mulai melancarkan gerakan perebutan kekuasaan dengan nama Gerakan 30 September atau kemudian dikenal dengan G-30-S/PKI”. Itulah kalimat pertama yang tercantum dalam buku 30 Tahun Indonesia Merdeka jilid III bab Gerakan 30 September. Dalam buku Gerakan 30 September Pemberontakan PKI karangan Sekretariat Negara pada masa Orba pun menceritakan tragedi penculikan para jenderal yang dianggap Dewan Jenderal oleh PKI tersebut secara terkesan “asal-asalan” mengapa Saya sebut demikian? tuturan mengenai kronologinya hampir semuanya sama, bahkan waktu penculikan pun dipukul rata, yakni pukul 03.00. padahal menurut kesaksian Amelia Yani¹ bahwa para penculik datang sekitar pukul 04.30.
Otomatis buku-buku pelajaran disekolah (pada waktu itu masih bernama PSPB) versinya tidak berbeda dengan buku-buku versi pemerintah. Karena disamping yang boleh terbit adalah “buku-buku pemerintah”, juga karena penguasa yang tidak segan-segan “menghabisi” orang yang menentangnya. Akibatnya dalam pelajaran sejarah, baik itu mengenai G 30 S, Supersemar, atau yang lainnya terkesan statis. Dengan kata lain materi yang diterima dari SD sampai SMA tidak berubah.
Pun pengalaman Saya yang mulai bersekolah ketika Orba mulai runtuh. Karena dibesarkan keluarga abtenar, semasa kecil Saya disosialisasikan mengenai kebesaran-kebesaran pemerintah Orba dan PKI sebagai durnonya, yang jika mendengar namanya saja, masyarakat serasa ingin menghabisinya. Sehingga baik yang disosialisasikan disekolah maupun lingkungan keluarga, itu tidak berbeda.

Beberapa Narasi Singkat Mengenai Tragedi G 30 S Selepas Reformasi
            Tahun 1998 Presiden Soeharto lengser keprabon. Orba telah runtuh. Para intelektual yang peduli sejarah bangsanya mulai bicara. Mereka yang pada masa Orba mendekam di penjara karena dianggap melawan mulai menguak apa-apa yang diputarbalikan pemerintah. Namun begitu, secara kasat mata para intelektual yang muncul tersebut membeberkan sejarah seolah-olah tidak “berdiri ditengah-tengah” Berikut adalah beberapa narasi singkat mengenai dalang tragedi tersebut.
·      PKI
Banyak para saksi sejarah, baik itu yang menjadi sasaran pembantaian, maupun dari pihak pembantai sendiri, berbicara mengenai tragedi 65 (maupun pembantaian-pembantaian lainnya yang menyangkut dengan PKI, yakni  Kanigoro, dan sebagainya) diantaranya kesaksian Eni binti Madah seorang anggota Gerwani yang dalam pengakuannya menyatakan Ia diperintahkan menari-nari setengah telanjang mengelilingi ruang piket sambil memukuli para tawanan (para perwira tinggi AD). Ia mengetahui waktu itu didalam sumur sudah terdapat dua orang. Ia pun mengaku ikut memasukkan Soetoyo², Soeprapto³, Parman4, dan Pierre5 ke dalam sumur tua. Sebelumnya, bersama Aisah dan Tati6 Ia menari-nari mengelilingi Pierre. Dia mengaku melihat dengan mata kepala sendiri penganiayaan, pemotongan alat vital Pierre oleh Jamilah7.
Dalam wawancara lain, salah seorang Gerwani menyatakan bahwa Jamilah ketika menyiksa para jenderal tersebut berkata “inilah darah kabir”8. Dan masih banyak saksi yang lain. Satu lagi, bahwa pemimpin pelaksana teknis G 30 S Letkol Untung Syamsuri adalah seorang PKI. Walaupun begitu, Untung menyebut tindakannya sebagai pencegahan terhadap tindakan kudeta yang akan dilakukan oleh sejumlah jenderal AD. Dalam versi ini pun terdapat kelemahan, di situ PKI hanya terlihat dalam teknis peristiwa tersebut, bukan merupakan dalang. Lalu banyak pakar politik yang berpendapat bahwa jika memang PKI ingin mengudeta pemerintahan, itu tidak masuk akal, mengingat presiden Soekarno yang pro PKI, dan posisi PKI pada waktu itu sudah cukup mendominasi perpolitikan negeri.
·      Soekarno
Tahun 1964-1965 merupakan tahun viverepericoloso9, terutama sekitar tragedi 65. Tentunya yang melibatkan jajaran pemerintah, ABRI, PKI, Peking, sampai para buruh dan petani yang direncanakan sebagai angkatan ke V. BK10 sebagai orang nomor satu pada tahun tersebut tidak luput dari perhatian atas kejadian G 30 S. tentunya dengan pertanyaan siapakah yang bertanggung jawab dalam masalah ini?
Kembali pada masalah dalang G 30 S. salah satu pernyataan mengejutkan dalam sebuah biografi Soekarno : Pada tanggal 29 September, Soekarno dalam rapat umum yang dihadiri oleh para mahasiswa telah berseru untuk “mengganyang para jenderal yang menjadi pembela elemen-elemen kontrarevolusioner” (Kapitsa dan Maletin, 2009 : 299). Spekulasi pun muncul, apakah pernyataan ini ditujukan kepada para perwira AD yang menjadi korban G 30 S? mengingat pelaksana teknis tersebut (Untung) diisukan membentuk DR11 yang mendukung Soekarno untuk melawan DJ12 yang diisukan berisi para perwira tinggi AD. Juga keberadaannya di Halim13 ketika pagi tanggal 1 0ktober 1965. Namun jika melihat bahwa G 30 S adalah sebuah kudeta, maka kontra dengan keadaan BK sebagai presiden. Dengan kata lain muncul pertanyaan apakah mungkin presiden mengudeta sendiri?
·      Soeharto
Dalam versi ini Asvi Warman Adam menyebutnya dengan kudeta merangkak yang dilakukan Soehrto. Soebandrio pun demikian. Jika merunut dari kejadian memang berkaitan. Sebelum kejadian, Untung dan Abdul Latief14 menemui Soeharto yang sedang menunggui Hutomo15 yang sedang terbaring dirumah sakit. Hubungan keduanya jelas, mereka adalah anak buah Soeharto ketika di kodam Diponegoro. Hal ini dapat disimpulkan secara logika bahwa Soeharto mengetahui rencana Untung, tetapi sebagai dalangnya? belum bisa dipastikan. Tidak dijadikannya sasaran pembunuhan adalah salah satu pendukung versi ini, padahal Ia mempunyai posisi strategis dalam AD. Berbeda dengan Baskara, walaupun sependapat dengan Asvi, namun Ia lebih menekankan pada kejadian yang menimpa orang-orang PKI pasca G 30 S.
·      CIA
Agen intelijen Amerika ini sudah pasti mempunyai kepentingan politik di Indonesia. Mengingat pada tahun 60an sedang memuncaknya perang dingin,  Ditambah dengan fakta musuh nomor satu BK adalah imperialisme-kapitalisme. Sebagaimana AS adalah “budaknya”. Otomatis pihak AS menganggap BK komunis. Faktanya memang BK lebih dekat dengan US16 daripada AS. Dengan maksud ingin mempersempit gerak komunis dan Soekarno, AS memberikan bantuan persenjataan kepada AD. Namun dubes AS menyangkalnya.
·      Konflik Internal AD
Dalam versi ini dihubungkan dengan isu pembentukan DJ sebagai pihak yang akan mengudeta BK, juga pembentukan DR oleh Untung sebagai tandingan DJ. Isu DJ sendiri muncul dari Dokumen Gilchrist yang seolah-olah terlihat kerjasama AD dengan pihak Inggris.

Berdiri di Antara Dualisme Subjektivitas dan Objektivitas
            Seorang dosen sejarah menyatakan sulit “berdiri ditengah-tengah” dalam sejarah. Saya akui demikian. Sejak kecil sampai SMA Saya dididik oleh keluarga pensiunan PNS Kawedanan yang notabene lulusan salah satu pesantren di Semarang. Dengan latar belakang demikian, kira-kira sudah ketahuan bagaimana dalam menyikapi PKI. Secara subjektif, karena memang sejak kecil Saya diberi frame demikian, maupun mengenai saksi hidup sejarah, lebih condong kepada PKI, dengan catatan sebagai pelaksana teknisnya. Terlepas dari kejadian tersebut, sebenarnya ada satu hal yang lebih hebat dari G 30 S, namun jarang sekali dipermasalahkan. Ya, pembantaian orang-orang yang dianggap PKI khususnya di Jawa Tengah, Jawa Timur ,dan Bali pada tiga bulan terakhir tahun yang sama. Nahasnya, pada masa Orba “anak cucu” PKI dikucilkan, dimusuhi, dijauhi, bahkan mungkin diperangi.
            Kini zaman Orba telah berlalu. Baskara menyatakan sejarah yang semula seragam menjadi beragam. Walaupun realitanya tidak 100% beragam. Mengapa? Nyatanya banyak buku-buku sekarang yang mengangkat data-data baru namun isinya hanya fokus untuk menghujat pihak tertentu. Jika demikian maka apa bedanya dengan sejarah yang seragam? Ketika Ratna Sari Dewi17 berkomentar mengenai G 30 S yang dengan enteng dan terkesan hanya menghujat, timbul reaksi Anhar Gonggong, yang menyatakan “janganlah menulis sejarah karena dendam” memang begitulah seharusnya, khusunya sebagai orang yang peduli sejarah, janganlah menulis sejarah karena dendam, “berdirilah ditengah-tengah”, ceritakan apa adanya dengan dasar atau data-data yang ada.
  
  
            Catatan kaki

1.        Putri Letjend Ahmad Yani yang menjadi saksi mata penculikan
2.        Brigjend Soetoyo Siswomihardjo
3.        Mayjend R. Soeprapto
4.        Mayjend Suwondo Parman
5.        Lettu Pierre Andreas Tendean
6.        Anggota Gerwani
7.        Salah satu anggota Gerwani
8.        Kabir : Kapitalis Birokrat (yang ditujukan untuk para perwira tinggi/korban G 30 S)
9.        Tahun dimana terdapat berbagai masalah yang serba sulit
10.    Bung Karno
11.    Dewan Revolusi
12.  Dewan Jenderal
13.  Lanud Halim Perdana Kusumah yang dikabarkan sebagai markas G 30 S
14.  Salah seorang pemimpin pelaksana teknis G 30 S
15. Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto
16. Uni Soviet
17. Atau Naoko Nemoto, istri presiden Soekarno yang berasal dari Jepang








Daftar pustaka


           Adam, Asvi Warman (2009) Membongkar Manipulasi Sejarah. Jakarta : Buku Kompas.
           Iskandar, Mohammad,dkk (2007) Sejarah Indonesia Dalam Perkembangan Zaman : Pelajaran Sejarah Untuk SMA Kelas XII Program IPS. Jakarta : Ganesa Exact
           Kapitsa, M. S. dan Maletin, N. P. (2009) Soekarno : Biografi Politik. Bandung : Ultimus
           Proyek Historiografi (1999) Gerakan  30 September, Antara Fakta dan Rekayasa : Berdasarkan Kesaksian Para Pelaku Sejarah. Yogyakarta : Media Pressindo.
           Sekretariat Negara Republik Indonesia (1985) 30 Tahun Indonesia Merdeka jilid III. Jakarta : Citra Lamtoro Gung Persada.
                       Sekretariat Negara RI (1994) Gerakan 30 September Pemberontakan PKI : Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya. Jakarta : Sekretariat Negara Republik Indonesia.
            Stanley dan Santoso, Aris (2005) Soe Hok Gie : Zaman Peralihan. Jakarta : Gagas Media
           Suwarno, P.J. (2009) Rajawali Kemusuk Menjelajah Nusantara. Yogyakarta : Penerbit Universitas Sanata Dharma
            Wardaya, Baskara T. (2008) Mencari Supriyadi : Kesaksian Pembantu Utama Bung Karno. Yogyakarta : Galang Press
           Wardaya, Baskara T. (2009) Bung Karno Menggugat! Dari Marhaen, CIA, Pembantaian Massal ’65 hingga G 30 S (edisi revisi). Yogyakarta : Galang Press.
Zara,   M. Yuanda (2008) Ratna Sari Dewi Soekarno : Sakura di Tengah Prahara. Yogyakarta : Ombak
          Radar Banjarmasin edisi 19 September 2010. Amelia Yani, saksi hidup G 30 S : Ingin Peluk Bapak, Malah Ditodong Senjata.
































Tidak ada komentar:

Posting Komentar