Senin, 08 Oktober 2012

Untuk Sejarah Pendidikan....


Pendidikan “Ideal” pada Masa Sokrates, Plato, dan Aristoteles di Yunani

Abstraksi
            Cukup sulit mencari solusi alternatif untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi dunia pendidikan, khususnya di Indonesia. Memang, perbedaan geografis atau karakter masyarakat, akan berpengaruh pada kondisi pendidikannya. Dalam tulisan ini, pendidikan “ideal” digambarkan sebagaimana pendidikan yang berorientasi terhadap permasalahan yang sedang dihadapi bangsa Yunani pada masa klasik, baik yang bersifat demokratis maupun secara militeristik.
            Kontribusi Sokrates, Plato, dan Aristoteles dalam merevolusi atau menerapkan sistem pendidikan yang “ideal” pada masa itu, menjadikan mereka dikenang oleh sejarah. Dalam artian pemikirannya mengenai dunia pendidikan, yang beserta implementasinya. Sehingga gagasannya mengenai pendidikan, merupakan kondisi pendidikan pada masa itu pula. 
                                                    
Menyoal Pendidikan di Indonesia Saat Ini
Tidak dapat dipungkiri bahwasannya semakin berjalannya waktu, semakin kompleks pula permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat di Indonesia. Baik permasalahan dalam aspek ekonomi, politik, sosial, budaya, pendidikan, dan sebagainya. Dari aspek-aspek diatas, tentunya saling berkaitan. Keadaan ekonomi di Indonesia tentu akan berkaitan dengan sistem pendidikan yang ada, juga keduanya akan terpengaruh dengan mentalitas masyarakat itu sendiri.
Keadaan diatas katakanlah sebuah tantangan yang harus direspon dengan suatu reaksi yang tentu saja berbentuk solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat Toyn Bee dalam teori challenge and responnya, dimana manusia akan mencari solusi untuk mengatasi permasalahan yang sedang dihadapinya.
Dalam tulisan ini akan diuraikan permasalahan dalam ranah pendidikan. Salah satu aspek yang dianggap berpengaruh besar terhadap aspek-aspek atau permasalahan yang lain seperti ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Para ilmuwan atau negarawan seringkali mengatakan bahwa negara bertanggung jawab terhadap segala permasalahan yang dihadapi rakyatnya, termasuk pendidikan, tentu hal ini akan terwujud apabila masyarakatnya pun ikut berpartisipasi. Dalam artian keduanya saling mendukung dengan tugas dan peranannnya masing-masing.
Terlepas dari baik buruknya suatu sistem pendidikan, pemerintah terus melakukan evaluasi dengan sistem pendidikannya, diantaranya yang berbentuk kurikulum. Perlunya penyesuaian dalam sistem pendidikan tidak bisa dilepaskan dengan keadaan masyarakat, dan tentu saja kondisi zaman yang ada.
Sampai saat ini cukup banyak pengertian mengenai pendidikan. Dalam suatu pengertian yang lazim dikemukakan adalah bahwa pendidikan diartikan sebagai proses untuk memanusiakan manusia. Suatu pengertian yang bermakna sangat filosofis. Atau pendidikan diartikan sebagai usaha sadar manusia untuk menjadikannya lebih baik, khususnya dalam ranah psikis. Durkheim (dalam saripudin, 2010) mengemukakan pendidikan terdiri dari beberapa bentuk, mengikuti banyaknya perbedaan lingkungan di masyarakat, dalam hal ini kehidupan dalam keluarga pun disebut sebagai pendidikan.
Wacana baru yang sedang diperbincangkan oleh para praktisi pendidikan di Indonesia salah satunya adalah pendidikan karakter, kemudian ketika diangkat permasalahan pemerataan pendidikan, maka hal terbaru dalam ranah pendidikan di Indonesia salah satunya adalah mengenai upaya peningkatan sumber daya guru untuk dapat mendidik di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal).
Selain program 3T tersebut, muncul pula wacana mengenai upaya peningkatan sumber daya untuk calon guru dengan program PPG (Pendidikan Profesi Guru), walaupun hal ini masih menjadi pro dan kontra dari berbagai kalangan, termasuk calon guru dan dosen sendiri. Terlepas dari pro dan kontra, peningkatan sumber daya guru (dalam hal ini dari segi kualitas) dan pelatihan terhadap profesi guru merupakan hal yang positif, karena masalah yang ada di lapangan sekarang adalah masalah profesionalisme dan kualitas guru sebagai praktisi pendidikan. Disamping masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN)
Sebagai seorang praktisi pendidikan, tugas guru bukan hanya memberikan ilmu atau pengetahuan yang dalam hal ini bersifat kognitif dengan dalih ketepatan Rancangan Perencanaan Pembelajaran (RPP) atau mengejar materi. Tetapi juga ranah afektif dan psikomotor. Kita harus ingat bahwasannya generasi muda tidak hanya krisis akan ilmu atau pengetahuan, tetapi juga krisis hati, krisis sosial, krisis moral, krisis akhlak, dan seterusnya, yang bersifat afektif atau psikomotor.
Ketika siswa tidak melaksanakan tugas yang diberikan guru, maka guru tersebut cenderung hanya memberikan punishment, tanpa memberikan pengertian atau makna dari punishment tersebut. Hal demikian mungkin memang sepele, tetapi akan berdampak besar mengingat pengertian tersebut ditujukan pada remaja yang masih labil tingkah lakunya, tentunya selain sebagai sarana pembentuk karakter.
Masalah lain adalah Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Tidak asing memang. Hal ini sangat berbahaya bagi kelangsungan pendidikan di negeri ini. Sepintar-pintar atau secerdas-cerdasnya seseorang, jika bekerja tidak pada keahlian atau profesinya, maka kemungkinan besar akan menimbulkan masalah.
Kita mungkin dapat membayangkan apa akibatnya jika posisi guru-guru di Indonesia sebagian besar diisi oleh para lulusan non LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) Atau mata pelajaran ilmu-ilmu sosial (sejarah, sosiologi, antropologi, geografi) yang cenderung dianggap sebelah mata, diisi oleh guru-guru mata pelajaran ilmu-ilmu alam (matematika, kimia, fisika, biologi) dengan dalih kekurangan guru? Dan memang sebenarnya kondisi inilah realitanya, tidak sedikit guru-guru yang mengajar tidak dalam bidangnya.
Tentunya hal-hal yang seharusnya menjadi bagian penting dalam proses pembelajaran yang menurut Dimyati dan Mudjiono (2006) diantaranya adalah ; hakikat, prinsip, pendekatan, dan masalah-masalah dalam pembelajaran tidak akan terimplementasikan maupun tidak akan terpecahkan. Karena pada dasarnya pendidikan (pembelajaran) bukan hanya sarana mencari pengetahuan, tetapi menurut Lewin diantaranya adalah untuk menjawab tantangan yang dihadapi siswa.
Mengenai kekurangan guru mata pelajaran tertentu (dalam hal ini guru ilmu sosial), hanya suatu dalih untuk menyembunyikan virus KKN yang sudah cukup kronis dan mengakar dalam dunia pendidikan kita. Seringkali tersiar kabar dan wacana mengenai “biaya” untuk menjadi seorang pegawai negeri sipil guru (PNS-Guru) yang nilai harga penawarannya cukup fantastis. Hal ini menjadikan kengerian tersendiri bagi para calon guru yang ingin menjadi PNS.
Tidak cukup sampai disitu, kampus-kampus swasta yang sebelumnya tidak menyediakan jurusan pendidikan, kini berlomba-lomba mendirikan jurusan-jurusan pendidikan yang berpotensi laris dipasaran pada kondisi sekarang, seperti pendidikan matematika, pendidikan bahasa Indonesia, pendidikan bahasa Inggris, pendidikan  ilmu alam, dan pendidikan ekonomi. Tidak tanggung-tanggung, untuk satu jurusan satu angkatan pada kampus swasta tertentu sampai menerima 18 kelas. Enam sampai delapan kali lipat dari kampus atau LPTK negeri.
Hal ini membuat peluang para sarjana pendidikan dari LPTK yang berstatus negeri menjadi sempit. Karena lahan mereka “dicuri”, terutama bagi guru-guru mata pelajaran ilmu-ilmu sosial. Kemudian, hal yang cukup memprihatinkan tentunya dari siswa sendiri, yang kerapkali terlibat tawuran atau kebiasaan menyontek.     
                Diatas hanyalah contoh kecil mengenai wajah pendidikan di Indonesia saat ini, tentu saja dengan hal yang bersifat positif dan negatifnya. Di negara lain pun tentunya mempunyai wajah pendidikan tersendiri yang berbeda-beda dengan permasalahan masing-masing.
Kiranya Cukup menarik ketika memperbincangkan sekitar masalah pendidikan. Dan pendidikan erat kaitannya dengan ilmu atau pengetahuan. Dan mungkin akan lebih menarik ketika kita flashback ke masa lalu untuk mengetahui bagaimana pendidikan pada zaman Yunani klasik. Dimana pada zaman ini disebut-sebut sebagai awal munculnya pemikiran-pemikiran yang mengilhami ilmu dan pengetahun modern, yakni pada masa Sokrates, Plato, dan Aristoteles, tiga filsuf besar yang pemikiran-pemikirannya abadi sampai masa sekarang.

Definisi pendidikan
Sebelum membahas pendidikan pada masa pra Sokrates, akan sedikit dipaparkan mengenai apa yang disebut dengan pendidikan itu sendiri. Undang-undang sistem pendidikan nasional no 20 tahun 2003 menyebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan berencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Langeveld (dalam Soelaiman, 1985, Somarya & Nuryani, 2009) menyebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap pihak lain yang belum dewasa agar mencapai kedewasaan. Sedangkan Poerbakawatja (1982, dalam Somarya & Nuryani, 2009) menyebutkan bahwa pendidikan dapat diartikan secara luas dan sempit. Secara luas pendidikan meliputi semua perbuatan dan usulan dari generasi tua untuk mengalihkan pengetahuannya, pengalamannya, kecakapannya serta keterampilannya kepada generasi muda sebagai usaha menyiapkannya agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmaniah maupun rohaniah. Dalam arti sempit pendidikan sama halnya dengan pengajaran.
 Dari pemaparan diatas nyatalah bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan harus diterapkan dengan senyaman mungkin terhadap peserta didik. Walaupun dalam kenyataannya mungkin pula tidak harus dengan cara-cara yang demokratis. Baik cara yang demokratis atau dengan adanya unsur paksaan masing-masing mempunyai kekurangan dan kelebihan. Hal ini dapat diindikasikan bahwa memang masyarakat Indonesia adalah mempunyai karakter atau cara-cara tersendiri dalam hal pendidikan. Keluarga yang terdapat di perkotaan mungkin akan membiarkan anaknya bebas berkreasi atau memilih pendidikan sesuai potensinya. Sedangkan anak dari keluarga militer akan mengikuti jejak ayahnya karena dari kecil sudah mendapat pendidikan ala militer.
Walaupun pada masa sekarang lazim disebut zaman modern, demokrasi, dan sebagainya, nyatanya tetap pendidikan ala militer pun masih ada. Sebagaimana diuraikan diatas. Pendidikan pada masa sekrang memang berbeda dengan masa dahulu. Said & Affan (1987) menyebutkan bahwa banyak sekali factor dari luar sekolah yang mempengaruhi pendidikan. Ada pengaruh iklim, bangsa, adat istiadat, social dan politik. Ada pula pengaruh salah satu ideologi, aliran filsafat, filsafat negara, atau pengaruh agama pada tempat tersebut. Dari pernyataan Said & Affan tersebut kita dapat melihat contoh pendidikan di Indonesia (pulau Jawa) pada masa Sembilan Wali (Wali Songo), atau pada masa penjajahan kolonial Belanda. Begitu pula pendidikan pada masa tiga filsuf besar di Yunani (Plato, Sokrates, dan Aristoteles). ketiganya disebut filsuf, negarawan, ilmuwan, dan sebagainya, maka pendidikan pun dipengaruhi aliran filsafat, filsafat negara, dan kondisi sosial budayanya. Karena pemikiran mereka diadopsi dalam aspek-aspek tertentu, maka sistem pendidikan pun tidak lepas dari gagasan-gagasan mereka.

Pendidikan Masa Pra Sokrates
             Baik Sokrates, Plato, maupun Aristoteles adalah filsuf besar yang sebagian besar usianya dihabiskan di Yunani. Yunani merupakan negara yang sekarang terletak di bagian selatan-tenggara benua Eropa. Berbatasan langsung dengan laut Mediterania. Menurut Iriyadi, Yunani merupakan awal mula zaman sejarah dan peradaban di Eropa, terutama setelah ditemukannya berbagai material purbakala/artefak di pulau kreta. Zaman sejarah dibuktikan dengan tulisan-tulisan yang terdapat pada lempengan-lempengan gerabah, yang setelah diteliti adalah peninggalan dari sekitar 1500 tahun sebelum masehi. Dan sampai sekarang pun, Yunani dianggap sebagai awal mula peradaban di Eropa. Begitu pula dengan apa yang dikatakan Said dan Affan (1987) bahwasannya Yunani memberikan ilmu pengetahuan, filsafat, kesenian, olahraga, dan kesusastraannya. Hal yang sampai saat ini dikenal dunia. Kita pasti tidak asing jika mendengar nama Nicolo Machiavelli, Leonardo da Vinci, William Shakespeare, Jean Jacque Rosseau, Marconi, James Watt, dan ilmuwan-ilmuwan lainnya sampai abad 20.
            Yunani pada zaman klasik merupakan kumpulan negara-kota yang disebut dengan polis. Sehingga penduduknya bermukim pada polis-polis tersebut. Hal ini merupakan salah satu faktor yang menjadikan karakteristik masyarakat Yunani pada waktu itu adalah perasaan merdeka yang cukup kuat, dan tidak menghendaki adanya pemerintahan yang sentralistik. Said dan Affan (1987) mengatakan bahwa mereka menganggap kemerdekaan pribadi sebagai harta yang tertinggi. Namun begitu, mereka mempunyai pemerintahan pada polis masing-masing.
            Di satu sisi, Kemerdekaan individu dianggap sebagai faktor perpecahan bangsa Yunani, tetapi terdapat pula faktor yang menimbulkan persatuan antara penduduk polis-polis yang mempunyai kepentingan yang berbeda tersebut, yakni sastra dan olahraga. Disamping itu ada pula faktor konsensus lain seperti asal-usul atau bahasa mereka. Dalam sastra klasik Yunani, mungkin kita mengenal atau tidak asing dengan epos Illias dan Odysos karya Homeros. Epos yang berisi cerita kepahlawanan orang Yunani, yang sekaligus sebagai sarana atau media pendidikan watak/karakter nilai-nilai kepahlawanan generasi muda. Olahraga pun demikian, karakteristik orang Yunani yang sangat menghormati para dewa diwujudkannya dengan mengadakan pesta olahraga yang sekarang lazim disebut olimpiade.
            Pada awalnya pendidikan di Yunani diberikan secara bertahap dari membaca, menulis, dan ilmu kebahasaan atau sastra. Disamping itu musik pun diajarkan, selain olahraga. Pelajaran olahraga diberikan ditempat yang dinamakan palaestras dan gymnasium. Keduanya merupakan bangunan yang dikhususkan untuk praktik-praktik pelajaran olahraga, hanya palaestra untuk siswa yang berusia dibawah 16 tahun, sedangkan gymnasiun untuk siswa diatas 16 tahun. Pelajaran olahraga tidak hanya diperuntukkan untuk olympiade, tetapi juga sebagai persiapan menghadapi serangan musuh apabila terjadi peperangan.
            Dari polis-polis yang ada, Sparta dan Athena adalah diantara polis yang paling besar. Penduduk yang ada di Yunani, menurut Rapar (1991) sebenarnya adalah bangsa Indo Eropa, yang menurut berbagai pendapat para ahli merupakan pendatang dari Siberia, atau dataran Jerman-Polandia. bangsa Indo Eropa tersebut dikatakan sebagai bangsa yang nomadic, sehingga sampai di Yunani. Walaupun sebagai pendatang dan minoritas, tetapi secara kekuasaan, mereka menguasai polis-polis besar yang ada di Yunani, salah satunya adalah Athena.
Sparta
            Sparta merupakan daerah yang sebagian penduduknya adalah bangsa pendatang sebagaimana disebutkan diatas, yakni sebuah suku dari bangsa Indo Eropa, disebut suku Doria. Di Sparta, suku ini merupakan minoritas dalam segi kuantitas, tetapi kekuasaannya lebih menonjol daripada penduduk asli. Sebagai minoritas yang “menonjol”, tentu sewaktu-waktu mempunyai ancaman terhadap bangsa pribumi. Inilah yang menyebabkan sistem pendidikan di Sparta pada waktu itu berorientasi pada bidang militer, sebagaimana dikatakan oleh Rapar (1991) bahwa :
Sejak semula bangsa Doria yang menguasai Sparta terkenal sebagai suku bangsa yang gemar berperang. Mereka menyerbu kemana saja dan senantiasa berusaha menaklukkan siapa saja yang berani merintangi kehendak mereka itu. Setelah mereka menaklukkan dan menguasai Sparta serta bermukim disitu, ternyata semangat berperang yang mereka miliki tidak tidak segera padam. Apalagi mereka diperhadapkan dengan suatu fakta yang menunjukkan bahwa suku bangsa Doria yang menguasai Sparta itu adalah suatu minoritas yang memerintah suatu mayoritas dan itu berarti sewaktu-waktu mereka terancam oleh mayoritas yang mereka kuasai itu dan bilamana mereka lemah itu berarti mereka akan tersingkir dari Sparta. Pembawaan mereka yang gemar perang itu dan kenyataan yang senantiasa mengancam eksistensi mereka di Sparta telah mendorong mereka untuk membangun suatu negara dan pemerintahan militer yang kuat” (Rapar, 1991 : 36-37).

Rencana membuat sebuah pemerintahan militer yang kuat mendorong sistem pendidikan yang akan berorientasi kepada pendidikan militer pula. Sistem pendidikan militer telah memberlakukan sebagian besar atau orang-orang yang dianggap sehat fisik dan mental untuk mengikuti pendidikan militer. Dan harus siap menjadi prajurit-prajurit negara yang tangkas, cakap, dan siap bertempur melawan “musuh”.
Tidak berlebihan kiranya jika terdapat pernyataan bahwa sejak kelahirannya setiap orang Sparta telah menjadi milik negara (polis) tersebut. terdapat suatu badan negara yang mengurus atau menentukan apakah seorang bayi yang baru lahir “layak” untuk hidup atau mati. Dalam artian jika bayi tersebut sehat atau normal khususnya secara fisik, maka akan “dititipkan” kepada ibunya agar dirawat dengan baik sampai umur tujuh tahun, yakni umur sebelum diserahkan kepada negara. Jika bayi tersebut terlahir dengan keadaan fisik yang tidak normal, berpenyakit, dan sebagainya, maka akan dibuang. Hal itu pula yang menjadi salah faktor pencegah ledakan penduduk di Yunani pada waktu itu.
Setelah berumur tujuh tahun, anak tersebut “diserahkan” kepada negara untuk mengikuti pendidikan kemiliteran. Mereka ditempatkan pada suatu asrama dengan dibagi dalam beberapa regu. Anak yang dianggap kuat fisik, berani, dan cerdas, akan dijadikan sebagai komandan regu. Komandan regu tersebut mempunyai kewenangan untuk mengatur dan menghukum yang melakukan pelanggaran. Mereka mendapatkan pendidikan yang semi militer, atau lebih terarah kepada latihan fisik seperti berlari, loncat, lempar lembing, dan sebagainya. Semakin bertambahnya usia, mereka akan diarahkan kepada latihan fisik yang cukup berat, seperti tinju, gulat, sampai cara-cara menggunakan senjata.
Antara usia 20 sampai 30 tahun, mereka akan mendapatkan latihan perang (militer) dan sebagian besar ditempatkan menjadi kadet atau petugas khusus untuk mengawasi para helots (budak) yang bekerja pada ladang-ladang pertanian untuk kebutuhan orang-orang Doria atau Sparta secara keseluruhan. Antara usia 30 sampai 60 tahun, maka mereka menjadi “warga negara” Sparta yang diperbolehkan menikah, dengan tetap bekerja sesuai bidangnya. Dalam usia 60 tahun, mereka dipensiunkan dari militer dan boleh menduduki jabatan dalam pemerintahan (politik), pelatih, atau pembina generasi muda.

Athena
            Berbanding terbalik dengan sistem pendidikan yang berlaku di Sparta pada masa itu. Jika di Sparta diisi oleh suku Doria, maka di Athena diisi oleh suku Ionia, sebenarnya keduanya adalah bangsa Indo Eropa. Jika di Sparta menerapkan sistem militaristis-konservatif, maka Athena cenderung demokratis dan terbuka terhadap segala ilmu pengetahuan.
Menurut Said & Affan (1987), hati mereka terbuka untuk kebudayaan asing. Dari Babylon diambilnya ilmu bintang dan abjad, dari bangsa Phoenisia diambil sistem uang, dari Lydia diserap ilmu membuat kapal, dan dari Mesir didapat ilmu seni rupa. Dari banyak kebudayaan yang diadopsi, kemudian dikombinasi untuk membuat kebudayaan baru. Dalam hal ini pendidikan merupakan satu segi kebudayaan yang sangat diperhatikan.
Jika di Sparta anak yang sudah berumur tujuh tahun diserahkan kepada negara, maka di Athena anak laki-laki akan diserahkan kepada guru untuk belajar, dan anak perempuan tetap dirumah untuk mempelajari ilmu dalam rumah tangga, merenda, menjahit, atau bermain musik. Pada umumnya pendidikan di Athena tidak jauh dari olahraga, dan musik (sastra dan sejarah termasuk di dalamnya), karena keduanya dianggap dapat menyeimbangkan antara fisik dan mental atau moral.
Pelajaran yang bersifat olah raga disesuaikan dengan usia peserta didik, yakni diantaranya adalah:
1.      Melompat, sebagai latihan tahap awal pertumbuhan dimasa anak-anak
2.      Berlari, untuk melatih kesigapan dan ketangkasan
3.      Melempar cakram, sebagai latihan untuk melatih otot tangan
4.      Melempar lembing, digunakan untuk latihan berburu
5.      Tinju, berenang, atau menari (bagi anak perempuan)

Untuk musik sendiri diajarkan bermain chitara (sejenis gitar) atau seruling. Sedangkan untuk sastra diajarkan menulis atau mendeklamasikan puisi, atau menulis apapun. Demikian adalah corak atau sistem pendidikan di Athena, olahraga, musik dan sastra. Karena yang menjadi tujuan pendidikan Athena pada zaman itu adalah aner kalos k’agathos, yang berarti orang yang indah dan baik. Dalam artian agar orang-orang Athena berpenampilan indah dan berperilaku baik.

Pendidikan pada masa Sokrates

Menurut para sejarawan, Sokrates lahir pada tahun 469 SM. Namun banyak yang mengatakan, tidak diketahui persis kapan Ia dilahirkan. Yang jelas hanya bahwa pada tahun 399 SM, ia dijatuhi dengan hukuman mati, dengan harus meminum racun. Sumber lain mengatakan Ia memilih meminum racun daripada dipenggal kepalanya.
Berbicara mengenai pendidikan, maka tidak bisa lepas dari pengetahuan. Menurut Sokrates, pengetahuan adalah kebajikan, dan kebajikan merupakan sarana untuk mencapai kebahagiaan. Kebajikan dalam hal ini adalah kebajikan yang universal/luas. Seperti misalnya, tukang sol sepatu, akan dikatakan melakukan kebajikan jika melakukan pekerjaannya dengan baik dan sungguh-sungguh. Hal tersebut sudah berarti pengetahuan menurut Sokrates. Oleh karena itu, menurutnya hidup baik berarti : mempraktekkan pengetahuannya tentang hidup baik itu (Hadiwijono, 1980 : 37).
Jadi, dalam konteks ini pendidikan atau pengetahuan tidak hanya terbatas pada lingkup sekolah formal saja. Tetapi inilah makna pendidikan di mata Sokrates. Pendidikan atau pengetahuan diimplementasikan kearah pemahaman dan penyadaran. Apabila informasi yang sudah dipunyai seseorang tidak diimplementasikan untuk kebajikan, maka Ia belumlah melaksanakan pendidikan tersebut.
Sebelum masa Sokrates, praktik-praktik pendidikan sudah berjalan. Pada masa itu dikenal dengan masa sofisme, yakni merupakan aliran atau gerakan dalam bidang pengetahuan atau intelektual. Menurut Hadiwijono (1980) sebutan sofis mengalami perkembangan. Sebelum abad ke 5 istilah itu berarti sarjana atau cendikiawan, seperti Pythagoras, Demokritos, dan lainnya. Setelah abad ke 4, para sarjana atau cendikiawan tersebut bukan lagi disebut sofis, tetapi filosofos. Sedangkan sofis merupakan sebutan untuk para “guru” yang berkeliling dari kota ke kota untuk mengajar, namun mengharapkan atau bahkan meminta imbalan berupa uang.
Mengenai metode pendidikan pengajaran ala Sokrates, lazim disebut metode dialektika, atau Tanya jawab. Implementasinya, Ia berkeliling kampung di Athena, dan bertanya jawab dengan semua lapisan masyarakat seperti kaum sofis, negarawan, ilmuwan, sampai tukang-tukang atau pedagang kecil mengenai persoalan tertentu. Singkatnya, Sokrates tidak memandang apapun dalam mencari pengetahuannya tersebut. apapun jawabannya, atau mengenai apa yang mereka ketahui dan tidak diketahui. Dan satu hal penting yang membedakan Sokrates dengan kaum sofis, yakni Ia tidak memungut atau mengharapkan uang atau materi apapun dari orang-orang yang diajak berdialektika.
Sokrates biasanya akan bertanya dengan apa yang sedang dikerjakan orang yang ditanyai tersebut, sampai pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakannya tersebut kadang “meyesatkan” orang yang ditanyai, hingga mangsanya pada akhirnya mengakui kekeliruannya. Atau dibiarkannya orang yang ditanyai itu mengikuti jalan pikirannya yang salah sampai bersangkutan tidak dapat keluar lagi dari permasalahan yang dikemukakanya sendiri dan terpaksa mengakui kesesatannya (Said & Affan, 1987 : 149-150).
Dalam hal ini pertanyaan-pertanyaan atau pengertian yang dilontarkan oleh Sokrates bersifat kontradiktif bahkan ironis dengan pengetahuan yang sudah ada sebelumnya. Dengan metode “ironis” tersebut, Sokrates ingin memberantas anggapan yang keliru dan memperoleh pengertian yang murnidengan jalan memakai memakai pikiran sendiri. Dengan demikian, metode pendidikan Sokrates tersebut bertentangan dengan para kaum sofis yang cenderung hanya “memberi kuliah”.

Dibawah ini adalah sebuah dialog dari Sokrates dengan seorang pensiunan jenderal perang :
Socrates: Aku ingin meminta pendapat anda tentang keberanian, tidak saja pada tingkatan infantri tetapi juga kavaleri dan pada semua bentuk pertempuran. Bukan hanya keberanian bertempur tetapi juga keberanian berlayar di laut, menghadapi penyakit dan kemiskinan serta masalah kemasyarakatan. Disamping itu juga keberanian menghadapi nafsu dan kenikmatan yang sama sulitnya dihadapi, baik dengan cara maju atau pun mundur, karena bukankah memang ada manusia yang dikatakan berani dalam segala bidang ini, wahai Laches?
Laches:    Ya, benar.
Socrates: Jadi semua itu bisa dianggap sebagai keberanian, hanya saja ada manusia yang mengemukakannya dalam kenikmatan, ada yang dalam kepedihan, ada yang dengan nafsu, dan juga ada yang dalam mara bahaya. Begitu pula dengan adanya yang memperlihatkan kepengecutan dalam keadaan-keadaan yang sama.
Laches:    Benar adanya.
Socrates: Sekarang, yang ingin aku ketahui ialah apa yang dimaksud dengan kedua sifat itu. Jadi tolong beritahukan kepadaku, apa yang menjadi ciri-ciri umum keberanian yang terdapat pada semuanya? Pahamkah anda apa yang aku maksud?

Hal yang sering dilakukan Sokrates dalam dialektikanya adalah mengajak orang untuk mencari pengertian yang lebih mendalam dan mencari tahu mengapa mereka melakukan perbuatan yang dilakukannya, mengapa mereka mengatakan demikian, dan sebagainya. Sokrates juga sering “memancing” para generasi muda agar mereka merenungkan tingkah lakunya.

Pendidikan pada masa Plato

            Plato adalah salah satu murid Sokrates yang dikatakan cerdas. Ia belajar pada Sokrates pada umur 20 tahun, dan sekitar 7 tahun sesudahnya Sokrates meninggal. Ketika Sokrates meninggal, Ia tidak mewariskan pemikirannya dalam bentuk tulisan. Tetapi hanya meninggalkan wejangan lisan terhadap murid-muridnya. Salah satunya adalah kepada Plato. Plato hanya sekitar 7 tahun menjadi murid Sokrates. Namun Ia berhasil menuliskan pemikiran gurunya tersebut dalam bentuk tulisan. Tidak sedikit juga yang kemudian diadopsi dalam pemikirannya.
Di dalam bukunya yang berjudul Republic, Ia sangat menekankan pendidikan untuk mewujudkan negara idealnya. Plato mengatakan bahwa tugas pendidikan adalah membebaskan dan memperbaharui; ada pembebasan dari belenggu ketidaktahuan dan ketidakbenaran. Pembebasan dan pembaharuan itu akan membentuk manusia yang utuh, yaitu manusia yang berhasil menggapai segala keutamaan dan moralitas jiwa, yang akan mengantarnya ke ide yang tertinggi yaitu kebajikan, kebaikan, dan keadilan.
Pada masa Plato ini walaupun menekankan pengetahuan/pendidikan, namun tetap memperhatikan aplikasinya. Ia menghendaki bahwa pendidikan bertugas untuk membebaskan belenggu ketidakbenaran. Begitu pun dengan konsep moralitas jiwa yang mengacu pada kebajikan, kebaikan, dan keadilan. Seperti halnya Aristoteles.
            Kontribusi lain dalam pendidikan diantaranya adalah mendirikan sebuah sekolah yang diberi nama academia. Tujuan Plato mendirikan sekolah tersebut diantaranya adalah memberikan pendidikan yang maksimal dalam ilmu pengetahuan dan filsafat. Tujuan lainnya adalah memperbaiki moral masyarakat yang ketika itu sedang mengalami penurunan moral akibat penaklukkan Sparta terhadap Athena. Mengenai pendidikan yang mengarah kepada perbaikan moral, Rapar (2001) mengatakan bahwasannya Pemahaman bahwa Plato memiliki perhatian yang sangat tinggi pada pendidikan berdasarkan latar belakang kehidupan di negara Athena saat itu sedang berada di ambang kehancuran. Sparta mulai menaklukkan Athena dan membatasi wilayahnya hanya pada wilayah Attica saja. Kemudian salah satu factor kematian gurunya (Aristoteles) adalah akibat sanksi social masyarakat yang mudah dihasut oleh orang-orang yang membenci Aristoteles.
            Menurut Plato, jiwa manusia disusun dalam tiga lapisan golongan, yang tiap-tiap golongan mempunyai potensi dan sifat tertentu, yakni : 1) golongan pemerintah berpotensi dalam bidang politik dan pemerintahan, yang sifatnya bijaksana (mengutamakan akal dan fikiran). 2) golongan penjaga negeri (polisi, tentara, dan sebagainya) berpotensi untuk menjaga keamanan negara, yang sifatnya pemberani. 3) golongan pekerja dan penghasil berpotensi untuk bekerja dan menghasilkan, karena keinginan atau kebutuhan.
            Dengan sistem tersebut, Plato “mendidik” masyarakatnya dengan mempertimbangkan kebutuhan negara. Jadi, menurutnya pendidikan merupakan sarana penyaring utuk mendapatkan orang-orang yang sesuai dalam bidangnya. Baik pelaksana pemerintahan, penjaga negara (baik militer maupun sipil), dan pekerja atau penghasil produk tertentu, tentu saja merupakan sesuatu yang harus dipenuhi dalam penyelenggaraan negara (pemerintahan). Hal ini pula yang mungkin menginspirasi kaisar China pada masa dinasti Han, yakni kaisar Han Wu Ti untuk melakukan adanya ujian pegawai sipil, sehingga muncullah apa yang disebut dengan kaum gentry.
            Pada masa ini, anak-anak sampai usia 6 tahun dianjurkan untuk memakai ayunan, sesuatu yang bersifat mainan anak-anak, dongeng, dan cerita para dewa. Antara umur 7 sampai 18 tahun musik dan gerak badan (gymnastic) menjadi mata pelajaran penting. Pengertian musik dalam hubungan ini lebih luas daripada pengertiannya sekarang. Menurut pengertian Yunani lama, menari, sastra, dan sejarah, masuk ke dalam pengertian musik itu sendiri (Said & Affan, 1987 : 152).
            Ketika anak berusia 10 tahun, selama kurang lebih 3 tahun diajarkan membaca dan menulis. Disamping itu, disertai pula dengan olah raga (gymnastik) yang meliputi renang, lempar lembing, dan cakram. Kemudian tentu saja musik. Sehingga keduanya akan menimbulkan harmoni atau keseimbangan. Olah raga akan menimbulkan harmoni dalam gerakan perilaku, sedangkan musik akan menimbulkan harmoni pada jiwa.
            Pada masa dewasa remaja, sekitar usia 17 sampai 20 tahun anak didik mulai diajarkan latihan olah raga yang cukup berat, kemiliteran, dan tentu saja musik dan sastra. Kemudian pada umur 21, mereka diarahkan dan ditempatkan untuk menjadi pengaman negara atau militer dengan tugas sesuai pengetahuan atau pendidikan yang dimiliki. Kepada para anggota muda, dapat dikatakan hanya menjalankan tugas yang tidak berat. Sebaliknya, kepada para anggota yang cukup senior akan mendapatkan tugas sesuai jam terbangnya.
            Untuk dapat mencapai tingkat atau golongan pemerintahan, dengan sifat yang bijaksana, maka memerlukan pendidikan, pengetahuan, dan jam terbang yang banyak. Untuk dapat masuk dalam pemerintahan, salah satu syaratnya adalah berumur minimal 50 tahun, dengan menguasai ilmu hitung, ilmu ukur, ilmu bintang, dan musik, atau yang dikenal dengan quadrivium. Hal ini bertujuan agar orang-orang yang duduk dipemerintahan adalah orang yang sudah dewasa, dan mampu bersikap bijak. Tidak hanya itu, menurut ajaran Plato yang kemudian diterapkan pada masanya, adalah bahwa negarawan atau pemangku pemerintahan hendaklah seorang sarjana (orang yang cerdik pandai, bijaksana, dan sebagainya) sekaligus filsuf yang mempunyai banyak pengalaman.


Pendidikan pada masa Aristoteles

            Smith (1986) mengatakan bahwa Aristoteles adalah seorang cendekiawan dan intelek terkemuka, mungkin sepanjang masa. Umat manusia telah berhutang budi padanya untuk banyak kemajuannya dalam filsafat dan ilmu-ilmu pengetahuan, khususnya logika, metafisika, politik, etika, biologi, dan psikologi. Aristoteles dilahirkan pada tahun 384 S.M. di Stagira, suatu kota kecil di Semenanjung Chalci diceyang menonjol di sebelah barat laut Laut Egea. Ayahnya, Nichomachos yang sebagai dokter merawat Amyntas II, raja Macedonia, mengatur agar Aristoteles menerima pendidikan yang lengkap pada awal masa kanak-kanak dan mungkin kemudian mengajarnya dalam pengamatan gejala-gejala penyakit dan teknik pembedahan.
            Dengan latar belakang keluarga yang mumpuni tersebut, Aristoteles sangat banyak memperoleh pengetahuan. Apalagi dalam kalangan istana, sebagai anak seorang “dokter” istana, dan tentunya dekat pula dengan kehidupan istana, Aristoteles tidak hanya memperoleh pengetahuan dari orang tuanya, tetapi juga dari para guru-guru istana.
Menurut Hadiwijono (1980), Ketika mencapai umur 18 tahun, Aristoteles dikirim ke Athena untuk berguru kepada Plato. Jika Plato adalah murid dari Sokrates, maka Aristoteles adalah murid dari Plato. Menurut sumber, Aristoteles hidup antara tahun 384-323 SM. Ia kurang lebih 20 tahun berguru kepada Plato. Sebagaimana gurunya, Ia pun mendirikan sekolah dengan nama di Assos (Asia kecil) pada tahun 346 SM, kemudian pada tahun 342 SM Ia kembali ke Athena dan mendirikan Lyceum di Athena, Ia mengajar sekitar 12 tahun di sekolah tersebut. semasa hidup, Ia banyak menuangkan gagasanya dalam buku dan tentu saja Ia merupakan guru dari Alexander Agung, raja Macedonia pada waktu itu..
            Jika Plato adalah seorang idealis, maka Aristoteles adalah seorang realis. Sebagaimana dikatakan Hadiwijono (1980) bahwa Aristoteles lebih menekankan pada penyelidikan empiris dan berbalik dari berspekulasi, mengindahkan yang kongkrit dan individual. Dengan dasar itulah Aristoteles berpendapat bahwa perbudakan merupakan sesuatu yang memang seharusnya ada dalam masyarakatnya (Yunani). Said & Affan (1987) menambahkan bahwa menurut Aristoteles, pendidikan hanyalah untuk orang yang merdeka, dengan pendidikan liberalnya. Kemudian anak kecil dianggap oleh Aristoteles masih berada dalam taraf yang sama dengan tingkat hewan. Itulah sebabnya anak didik perlu banyak diberikan permainan, cerita atau dongeng, serta harus banyak diberikan kesempatan untuk melakukan perbuatan tertentu.
            Pada usia anak-anak sampai menjelang dewasa, sistem pendidikan pada masa Aristoteles Nampak tidak terdapat perbedaan yang besar. pendidikan jasmani yang tidak hanya untuk kepentingan lomba atletik atau militer, tetapi juga untuk membiasakan perbuatan-perbuatan yang positif. Jiwa yang penuh nafsu dan bernaluri juga, diberikan pelajaran sastra dan musik dengan tujuan memperhalus jiwa dan budi. Keduanya merupakan pelajaran yang penting untuk pendidikan kesusilaan.
Memasuki usia remaja (awal dewasa), sekitar 21 tahun, anak-anak didik diberikan pelajaran yang bersifat rasional dan memasuki ranah intelektual. Sesuai dengan gagasan Aristoteles yang mengedepankan pendidikan liberal realistis, dan tentu saja identik dengan pendidikan akal, maka pelajaran yang diberikan pun lebih dominan pendidikan liberal seperti ilmu hitung, ilmu ukur, ilmu bintang, musik, gramatika, retorika, etika, politik, ilmu hayat, ilmu jiwa, dan filsafat, yang dikatakan oleh Said & Affan (1987) terdiri dari logika dan metafisika.         
Gagasan-gagasan atau sistem pendidikan pada masa Aristoteles inilah yang sebagian besar diadopsi oleh Barat, dan mendominasi sistem pendidikan di Barat sekarang. Yakni pendidikan yang bersifat intelektualistis dan mengedepankan akal atau sesuatu yang rasional dan realistis. Tentunya dengan perubahan-perubahan pada sisi tertentu oleh ilmuwan sesudahnya.
 
Kesimpulan

Ketika menganalisis pendidikan dengan analisis model structural fungsional, maka pendidikan merupakan sebuah sarana untuk melakukan mobilitas sosial (khususnya vertical), proses sosialisasi, atau sebagai alat pengendalian sosial. Terlepas dari analisis model konflik, maka hal tersebut merupakan output yang ideal, tentunya dengan sistem pendidikan yang ideal pula.
Setuju atau tidak, pada zaman Yunani klasik dapat dikatakan sistem pendidikanya ideal, dalam artian sesuai kebutuhan bangsa, negara, dan tentu saja terdapat unsur “demokratis” dan “militeristik” . Dimana baik pada masa Sokrates, Plato, Aristoteles, anak-anak diberikan pelajaran yang sesuai dengan potensi otak dan usianya. Walaupun pada masa Aristoteles cenderung diarahkan kepada hal yang mengedepankan akal. Namun tetap, hal tersebut merupakan sesuatu yang ideal, dimana orang-orang ditempatkan sesuai dengan perannya.



Daftar Pustaka    

Buku
Dimyati & Mudjiono (2006). Belajar dan pembelajaran. Jakarta: Rhineka Cipta
Hadiwijono, Harun (1980). Sari Sejarah Filsafat Barat I. Yogyakarta: Kanisius
Rapar, J. H. (1991). Filsafat Politik Plato. Jakarta: CV Rajawali.
                    (2001). Filsafat Plotik Plato Aristoteles Augustinus Machiavell. Grafindo: Jakarta.
Ridwan, Juniarso & Achmad Sodik. (2010). Tokoh-Tokoh Ahli Pikir Negara & Hukum. Bandung: Nuansa.
Said, Muh. & Junimar Affan. (1987). Mendidik dari Zaman ke Zaman. Bandung: Jemmars.
Saripudin, Didin (2010). Interpretasi Sosiologis dalam Pendidikan. Bandung: Karya Putra Darwati
Smith, S. (1986). Gagasan-Gagasan Besar Tokoh-Tokoh dalam Bidang Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Toynbee, Arnold (2007). Sejarah Umat Manusia : Uraian Analitis, Kronologis, Naratif, dan Komparatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Internet
="http://www6.shoutmix.com/?iwayanputra">
(http://id.wikipedia.org/wiki/Plato)
(http://id.wikipedia.org/wiki/Sokrates)

Surat Kabar
Harian Umum Pikiran Rakyat edisi 15 Desember 2011