Pendidikan “Ideal” pada Masa Sokrates,
Plato, dan
Aristoteles di
Yunani
Abstraksi
Cukup sulit mencari solusi alternatif untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan yang dihadapi dunia pendidikan, khususnya di Indonesia.
Memang, perbedaan geografis atau karakter masyarakat, akan berpengaruh pada
kondisi pendidikannya. Dalam tulisan ini, pendidikan “ideal” digambarkan
sebagaimana pendidikan yang berorientasi terhadap permasalahan yang sedang
dihadapi bangsa Yunani pada masa klasik, baik yang bersifat demokratis maupun
secara militeristik.
Kontribusi Sokrates,
Plato, dan Aristoteles dalam merevolusi atau menerapkan sistem pendidikan yang
“ideal” pada masa itu, menjadikan mereka dikenang oleh sejarah. Dalam artian
pemikirannya mengenai dunia pendidikan, yang beserta implementasinya. Sehingga
gagasannya mengenai pendidikan, merupakan kondisi pendidikan pada masa itu
pula.
Menyoal
Pendidikan di
Indonesia Saat Ini
Tidak dapat dipungkiri
bahwasannya semakin
berjalannya waktu, semakin kompleks pula permasalahan yang dihadapi oleh
masyarakat di Indonesia. Baik permasalahan dalam aspek ekonomi, politik,
sosial, budaya, pendidikan, dan sebagainya. Dari aspek-aspek diatas, tentunya
saling berkaitan. Keadaan ekonomi di Indonesia tentu akan berkaitan dengan
sistem pendidikan yang ada, juga keduanya akan terpengaruh dengan mentalitas
masyarakat itu sendiri.
Keadaan diatas
katakanlah sebuah tantangan yang harus direspon dengan suatu reaksi yang tentu
saja berbentuk solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut. Hal ini sejalan
dengan pendapat Toyn Bee
dalam teori challenge and responnya,
dimana manusia akan mencari solusi untuk mengatasi permasalahan yang sedang dihadapinya.
Dalam tulisan ini akan
diuraikan permasalahan dalam ranah pendidikan. Salah satu aspek yang dianggap
berpengaruh besar terhadap aspek-aspek atau permasalahan yang lain seperti
ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Para ilmuwan atau negarawan seringkali
mengatakan bahwa negara bertanggung jawab terhadap segala permasalahan yang
dihadapi rakyatnya, termasuk pendidikan, tentu hal ini akan terwujud apabila
masyarakatnya pun ikut berpartisipasi. Dalam artian keduanya saling mendukung
dengan tugas dan peranannnya
masing-masing.
Terlepas dari baik
buruknya suatu sistem pendidikan, pemerintah terus melakukan evaluasi dengan
sistem pendidikannya, diantaranya
yang berbentuk kurikulum. Perlunya penyesuaian dalam sistem pendidikan tidak
bisa dilepaskan dengan keadaan masyarakat, dan tentu saja kondisi zaman yang
ada.
Sampai saat ini cukup
banyak pengertian mengenai pendidikan. Dalam
suatu pengertian yang lazim dikemukakan adalah bahwa pendidikan
diartikan sebagai proses untuk memanusiakan manusia. Suatu pengertian yang bermakna sangat filosofis.
Atau pendidikan diartikan sebagai usaha sadar manusia untuk menjadikannya lebih
baik, khususnya dalam ranah psikis. Durkheim
(dalam saripudin, 2010) mengemukakan pendidikan terdiri
dari beberapa bentuk, mengikuti banyaknya perbedaan lingkungan di masyarakat,
dalam hal ini kehidupan dalam keluarga pun disebut sebagai pendidikan.
Wacana baru yang sedang
diperbincangkan oleh para praktisi pendidikan di Indonesia salah satunya adalah
pendidikan karakter, kemudian ketika diangkat permasalahan pemerataan
pendidikan, maka hal terbaru dalam ranah pendidikan di Indonesia salah satunya
adalah mengenai upaya peningkatan sumber daya guru untuk dapat mendidik di
daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal).
Selain program 3T
tersebut, muncul pula wacana mengenai upaya peningkatan
sumber daya untuk calon guru dengan program PPG (Pendidikan Profesi Guru),
walaupun hal ini masih menjadi pro dan kontra dari berbagai kalangan, termasuk
calon guru dan dosen sendiri. Terlepas dari pro dan
kontra, peningkatan sumber daya guru (dalam hal ini dari segi kualitas) dan
pelatihan terhadap profesi guru merupakan hal yang positif, karena masalah yang
ada di lapangan sekarang adalah masalah profesionalisme dan kualitas guru
sebagai praktisi pendidikan. Disamping masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme
(KKN)
Sebagai seorang
praktisi pendidikan, tugas guru bukan hanya memberikan ilmu atau pengetahuan
yang dalam hal ini bersifat kognitif dengan dalih ketepatan Rancangan Perencanaan Pembelajaran (RPP) atau mengejar
materi. Tetapi juga ranah afektif dan psikomotor. Kita harus ingat
bahwasannya generasi muda tidak hanya krisis akan ilmu atau pengetahuan, tetapi
juga krisis hati, krisis sosial, krisis moral, krisis akhlak, dan seterusnya,
yang bersifat afektif atau psikomotor.
Ketika siswa tidak
melaksanakan tugas yang diberikan guru, maka guru tersebut cenderung hanya
memberikan punishment, tanpa
memberikan pengertian atau makna dari punishment tersebut. Hal demikian mungkin
memang sepele, tetapi akan berdampak besar mengingat pengertian tersebut
ditujukan pada remaja yang masih labil tingkah lakunya, tentunya selain sebagai
sarana pembentuk karakter.
Masalah lain adalah Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Tidak asing memang. Hal ini sangat berbahaya bagi kelangsungan pendidikan di
negeri ini. Sepintar-pintar atau secerdas-cerdasnya seseorang, jika bekerja
tidak pada keahlian atau profesinya, maka kemungkinan besar akan menimbulkan
masalah.
Kita mungkin dapat
membayangkan apa akibatnya jika posisi guru-guru di Indonesia sebagian besar
diisi oleh para lulusan non LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan)
Atau mata pelajaran ilmu-ilmu sosial (sejarah, sosiologi, antropologi,
geografi) yang cenderung dianggap sebelah mata, diisi oleh guru-guru mata pelajaran
ilmu-ilmu alam (matematika, kimia, fisika, biologi) dengan dalih kekurangan
guru? Dan memang sebenarnya kondisi inilah realitanya, tidak sedikit guru-guru yang mengajar tidak dalam
bidangnya.
Tentunya hal-hal yang
seharusnya menjadi bagian penting dalam proses pembelajaran yang menurut Dimyati dan Mudjiono (2006)
diantaranya adalah ; hakikat, prinsip, pendekatan, dan masalah-masalah dalam
pembelajaran tidak akan terimplementasikan maupun tidak akan terpecahkan.
Karena pada dasarnya pendidikan (pembelajaran) bukan hanya sarana mencari
pengetahuan, tetapi menurut Lewin
diantaranya adalah untuk menjawab tantangan yang dihadapi siswa.
Mengenai kekurangan
guru mata pelajaran tertentu (dalam hal ini guru ilmu sosial), hanya suatu
dalih untuk menyembunyikan virus KKN yang sudah cukup kronis dan mengakar dalam dunia
pendidikan kita. Seringkali tersiar kabar dan wacana mengenai “biaya” untuk
menjadi seorang pegawai negeri sipil guru (PNS-Guru) yang nilai harga
penawarannya cukup fantastis. Hal ini menjadikan kengerian tersendiri bagi para
calon guru yang ingin menjadi PNS.
Tidak cukup sampai
disitu, kampus-kampus swasta yang sebelumnya
tidak menyediakan jurusan pendidikan, kini berlomba-lomba mendirikan
jurusan-jurusan pendidikan yang berpotensi laris dipasaran pada kondisi
sekarang, seperti pendidikan matematika, pendidikan bahasa Indonesia,
pendidikan bahasa Inggris,
pendidikan ilmu alam, dan
pendidikan ekonomi. Tidak tanggung-tanggung, untuk satu jurusan satu angkatan
pada kampus swasta tertentu sampai menerima 18 kelas. Enam sampai delapan kali
lipat dari kampus atau LPTK negeri.
Hal ini membuat peluang
para sarjana pendidikan dari LPTK yang berstatus negeri menjadi sempit. Karena
lahan mereka “dicuri”, terutama bagi guru-guru mata pelajaran ilmu-ilmu sosial.
Kemudian, hal yang cukup memprihatinkan tentunya dari siswa sendiri, yang
kerapkali terlibat tawuran atau kebiasaan menyontek.
Diatas hanyalah contoh kecil mengenai wajah pendidikan di Indonesia
saat ini, tentu saja dengan hal yang bersifat positif dan negatifnya. Di negara
lain pun tentunya mempunyai wajah pendidikan tersendiri yang berbeda-beda
dengan permasalahan masing-masing.
Kiranya
Cukup menarik ketika memperbincangkan sekitar masalah pendidikan. Dan
pendidikan erat kaitannya dengan ilmu atau pengetahuan. Dan mungkin akan lebih
menarik ketika kita flashback ke masa
lalu untuk mengetahui bagaimana pendidikan pada zaman Yunani klasik. Dimana
pada zaman ini disebut-sebut sebagai awal munculnya pemikiran-pemikiran yang
mengilhami ilmu dan pengetahun modern, yakni pada masa Sokrates, Plato, dan Aristoteles,
tiga filsuf besar yang pemikiran-pemikirannya abadi sampai masa sekarang.
Definisi pendidikan
Sebelum membahas pendidikan pada masa pra Sokrates, akan sedikit
dipaparkan mengenai apa yang disebut dengan pendidikan itu sendiri.
Undang-undang sistem pendidikan nasional no 20 tahun 2003 menyebutkan bahwa
pendidikan adalah usaha sadar dan berencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Langeveld (dalam
Soelaiman, 1985, Somarya & Nuryani, 2009) menyebutkan bahwa pendidikan
adalah usaha sadar yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap pihak lain yang
belum dewasa agar mencapai kedewasaan. Sedangkan Poerbakawatja (1982, dalam
Somarya & Nuryani, 2009) menyebutkan bahwa pendidikan dapat diartikan
secara luas dan sempit. Secara luas pendidikan meliputi semua perbuatan dan
usulan dari generasi tua untuk mengalihkan pengetahuannya, pengalamannya,
kecakapannya serta keterampilannya kepada generasi muda sebagai usaha
menyiapkannya agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmaniah maupun
rohaniah. Dalam arti sempit pendidikan sama halnya dengan pengajaran.
Dari pemaparan diatas nyatalah bahwa
pendidikan merupakan usaha sadar dan harus diterapkan dengan senyaman mungkin
terhadap peserta didik. Walaupun dalam kenyataannya mungkin pula tidak harus
dengan cara-cara yang demokratis. Baik cara yang demokratis atau dengan adanya
unsur paksaan masing-masing mempunyai kekurangan dan kelebihan. Hal ini dapat
diindikasikan bahwa memang masyarakat Indonesia adalah mempunyai karakter atau
cara-cara tersendiri dalam hal pendidikan. Keluarga yang terdapat di perkotaan
mungkin akan membiarkan anaknya bebas berkreasi atau memilih pendidikan sesuai
potensinya. Sedangkan anak dari keluarga militer akan mengikuti jejak ayahnya
karena dari kecil sudah mendapat pendidikan ala militer.
Walaupun
pada masa sekarang lazim disebut zaman modern, demokrasi, dan sebagainya,
nyatanya tetap pendidikan ala militer pun masih ada. Sebagaimana diuraikan
diatas. Pendidikan pada masa sekrang memang berbeda dengan masa dahulu. Said &
Affan (1987) menyebutkan bahwa banyak sekali factor dari luar sekolah yang
mempengaruhi pendidikan. Ada pengaruh iklim, bangsa, adat istiadat, social dan
politik. Ada pula pengaruh salah satu ideologi, aliran filsafat, filsafat negara,
atau pengaruh agama pada tempat tersebut. Dari pernyataan Said & Affan
tersebut kita dapat melihat contoh pendidikan di Indonesia (pulau Jawa) pada
masa Sembilan Wali (Wali Songo), atau pada masa penjajahan kolonial Belanda. Begitu
pula pendidikan pada masa tiga filsuf besar di Yunani (Plato, Sokrates, dan Aristoteles).
ketiganya disebut filsuf, negarawan, ilmuwan, dan sebagainya, maka pendidikan
pun dipengaruhi aliran filsafat, filsafat negara, dan kondisi sosial budayanya.
Karena pemikiran mereka diadopsi dalam aspek-aspek tertentu, maka sistem
pendidikan pun tidak lepas dari gagasan-gagasan mereka.
Pendidikan Masa
Pra Sokrates
Baik Sokrates,
Plato, maupun Aristoteles adalah filsuf besar yang sebagian besar usianya
dihabiskan di Yunani. Yunani merupakan negara yang sekarang terletak di bagian
selatan-tenggara benua Eropa. Berbatasan
langsung dengan laut Mediterania.
Menurut Iriyadi,
Yunani merupakan awal mula zaman sejarah dan peradaban di Eropa, terutama setelah ditemukannya berbagai
material purbakala/artefak di pulau kreta. Zaman sejarah dibuktikan dengan tulisan-tulisan yang terdapat pada
lempengan-lempengan gerabah, yang setelah diteliti adalah peninggalan dari
sekitar 1500 tahun sebelum masehi. Dan sampai sekarang pun, Yunani dianggap
sebagai awal mula peradaban di Eropa. Begitu pula dengan apa yang dikatakan
Said dan Affan (1987) bahwasannya Yunani memberikan ilmu pengetahuan, filsafat,
kesenian, olahraga, dan kesusastraannya. Hal yang sampai saat ini dikenal dunia. Kita pasti tidak
asing jika mendengar nama Nicolo Machiavelli, Leonardo da Vinci, William
Shakespeare, Jean Jacque Rosseau, Marconi, James Watt, dan ilmuwan-ilmuwan
lainnya sampai abad 20.
Yunani pada zaman klasik merupakan
kumpulan negara-kota yang disebut dengan polis.
Sehingga penduduknya bermukim pada polis-polis tersebut. Hal ini merupakan
salah satu faktor yang menjadikan karakteristik masyarakat Yunani pada waktu
itu adalah perasaan merdeka yang cukup kuat, dan tidak menghendaki adanya
pemerintahan yang sentralistik. Said dan Affan (1987) mengatakan bahwa mereka
menganggap kemerdekaan pribadi sebagai harta yang tertinggi. Namun begitu,
mereka mempunyai pemerintahan pada polis masing-masing.
Di satu sisi, Kemerdekaan individu
dianggap sebagai faktor perpecahan bangsa Yunani, tetapi terdapat pula faktor
yang menimbulkan persatuan antara penduduk polis-polis yang mempunyai
kepentingan yang berbeda tersebut, yakni sastra dan olahraga. Disamping itu ada pula faktor konsensus
lain seperti asal-usul atau bahasa mereka. Dalam sastra klasik Yunani, mungkin kita mengenal atau tidak asing dengan epos Illias dan Odysos
karya Homeros.
Epos yang berisi cerita kepahlawanan orang Yunani, yang sekaligus sebagai sarana atau media pendidikan watak/karakter nilai-nilai
kepahlawanan generasi muda. Olahraga
pun demikian, karakteristik orang Yunani yang sangat menghormati para dewa diwujudkannya
dengan mengadakan pesta olahraga yang sekarang lazim disebut olimpiade.
Pada awalnya pendidikan di Yunani
diberikan secara bertahap dari membaca, menulis, dan ilmu kebahasaan atau
sastra. Disamping itu musik pun diajarkan, selain olahraga. Pelajaran olahraga
diberikan ditempat yang dinamakan palaestras
dan gymnasium. Keduanya merupakan
bangunan yang dikhususkan untuk praktik-praktik
pelajaran olahraga, hanya palaestra untuk siswa yang berusia dibawah
16 tahun, sedangkan gymnasiun untuk
siswa diatas 16 tahun. Pelajaran olahraga tidak hanya diperuntukkan untuk olympiade, tetapi juga sebagai persiapan
menghadapi serangan musuh apabila terjadi peperangan.
Dari polis-polis yang ada, Sparta
dan Athena adalah diantara polis yang paling besar. Penduduk yang ada di Yunani, menurut Rapar (1991) sebenarnya adalah bangsa Indo Eropa, yang menurut berbagai pendapat para ahli
merupakan pendatang dari Siberia, atau dataran Jerman-Polandia. bangsa Indo Eropa tersebut dikatakan sebagai bangsa yang nomadic, sehingga
sampai di Yunani. Walaupun sebagai pendatang dan minoritas, tetapi secara
kekuasaan, mereka menguasai polis-polis besar yang ada di Yunani, salah satunya
adalah Athena.
Sparta
Sparta merupakan daerah
yang sebagian penduduknya adalah bangsa pendatang sebagaimana disebutkan
diatas, yakni sebuah suku dari bangsa Indo Eropa, disebut suku Doria. Di
Sparta, suku ini merupakan minoritas dalam segi kuantitas, tetapi kekuasaannya
lebih menonjol daripada penduduk asli. Sebagai minoritas yang “menonjol”, tentu
sewaktu-waktu mempunyai ancaman terhadap bangsa pribumi. Inilah yang
menyebabkan sistem pendidikan di Sparta pada waktu itu berorientasi pada bidang
militer, sebagaimana dikatakan oleh Rapar (1991) bahwa :
“Sejak semula bangsa Doria yang menguasai Sparta
terkenal sebagai suku bangsa yang gemar berperang. Mereka menyerbu kemana saja
dan senantiasa berusaha menaklukkan siapa saja yang berani merintangi kehendak
mereka itu. Setelah mereka menaklukkan dan menguasai Sparta serta bermukim
disitu, ternyata semangat berperang yang mereka miliki tidak tidak segera
padam. Apalagi mereka diperhadapkan dengan suatu fakta yang menunjukkan bahwa
suku bangsa Doria yang menguasai Sparta itu adalah suatu minoritas yang
memerintah suatu mayoritas dan itu berarti sewaktu-waktu mereka terancam oleh
mayoritas yang mereka kuasai itu dan bilamana mereka lemah itu berarti mereka
akan tersingkir dari Sparta. Pembawaan mereka yang gemar perang itu dan
kenyataan yang senantiasa mengancam eksistensi mereka di Sparta telah mendorong
mereka untuk membangun suatu negara dan pemerintahan militer yang kuat” (Rapar,
1991 : 36-37).
Rencana membuat sebuah pemerintahan militer yang kuat
mendorong sistem pendidikan yang akan berorientasi kepada pendidikan militer
pula. Sistem pendidikan militer telah memberlakukan sebagian besar atau
orang-orang yang dianggap sehat fisik dan mental untuk mengikuti pendidikan
militer. Dan harus siap menjadi prajurit-prajurit negara yang tangkas, cakap,
dan siap bertempur melawan “musuh”.
Tidak berlebihan kiranya jika terdapat pernyataan
bahwa sejak kelahirannya setiap orang Sparta telah menjadi milik negara (polis)
tersebut. terdapat suatu badan negara yang mengurus atau menentukan apakah
seorang bayi yang baru lahir “layak” untuk hidup atau mati. Dalam artian jika
bayi tersebut sehat atau normal khususnya secara fisik, maka akan “dititipkan”
kepada ibunya agar dirawat dengan baik sampai umur tujuh tahun, yakni umur
sebelum diserahkan kepada negara. Jika bayi tersebut terlahir dengan keadaan
fisik yang tidak normal, berpenyakit, dan sebagainya, maka akan dibuang. Hal
itu pula yang menjadi salah faktor pencegah ledakan penduduk di Yunani pada
waktu itu.
Setelah berumur tujuh tahun, anak tersebut
“diserahkan” kepada negara untuk mengikuti pendidikan kemiliteran. Mereka
ditempatkan pada suatu asrama dengan dibagi dalam beberapa regu. Anak yang
dianggap kuat fisik, berani, dan cerdas, akan dijadikan sebagai komandan regu.
Komandan regu tersebut mempunyai kewenangan untuk mengatur dan menghukum yang
melakukan pelanggaran. Mereka mendapatkan pendidikan yang semi militer, atau
lebih terarah kepada latihan fisik seperti berlari, loncat, lempar lembing, dan
sebagainya. Semakin bertambahnya usia, mereka akan diarahkan kepada latihan
fisik yang cukup berat, seperti tinju, gulat, sampai cara-cara menggunakan
senjata.
Antara usia 20 sampai 30 tahun, mereka akan
mendapatkan latihan perang (militer) dan sebagian besar ditempatkan menjadi
kadet atau petugas khusus untuk mengawasi para helots (budak) yang bekerja pada ladang-ladang pertanian untuk
kebutuhan orang-orang Doria atau Sparta secara keseluruhan. Antara usia 30
sampai 60 tahun, maka mereka menjadi “warga negara” Sparta yang diperbolehkan
menikah, dengan tetap bekerja sesuai bidangnya. Dalam usia 60 tahun, mereka
dipensiunkan dari militer dan boleh menduduki jabatan dalam pemerintahan
(politik), pelatih, atau pembina generasi muda.
Athena
Berbanding terbalik
dengan sistem pendidikan yang berlaku di Sparta pada masa itu. Jika di Sparta
diisi oleh suku Doria, maka di Athena diisi oleh suku Ionia, sebenarnya
keduanya adalah bangsa Indo Eropa. Jika di Sparta menerapkan sistem
militaristis-konservatif, maka Athena cenderung demokratis dan terbuka terhadap
segala ilmu pengetahuan.
Menurut Said & Affan (1987), hati mereka terbuka
untuk kebudayaan asing. Dari Babylon diambilnya ilmu bintang dan abjad, dari
bangsa Phoenisia diambil sistem uang, dari Lydia diserap ilmu membuat kapal,
dan dari Mesir didapat ilmu seni rupa. Dari banyak kebudayaan yang diadopsi,
kemudian dikombinasi untuk membuat kebudayaan baru. Dalam hal ini pendidikan
merupakan satu segi kebudayaan yang sangat diperhatikan.
Jika di Sparta anak yang sudah berumur tujuh tahun
diserahkan kepada negara, maka di Athena anak laki-laki akan diserahkan kepada
guru untuk belajar, dan anak perempuan tetap dirumah untuk mempelajari ilmu
dalam rumah tangga, merenda, menjahit, atau bermain musik. Pada umumnya
pendidikan di Athena tidak jauh dari olahraga, dan musik (sastra dan sejarah
termasuk di dalamnya), karena keduanya dianggap dapat menyeimbangkan antara
fisik dan mental atau moral.
Pelajaran yang bersifat olah raga disesuaikan dengan
usia peserta didik, yakni diantaranya adalah:
1. Melompat, sebagai latihan tahap awal
pertumbuhan dimasa anak-anak
2. Berlari, untuk melatih kesigapan dan
ketangkasan
3. Melempar cakram, sebagai latihan untuk
melatih otot tangan
4. Melempar lembing, digunakan untuk latihan
berburu
5. Tinju, berenang, atau menari (bagi anak
perempuan)
Untuk musik sendiri diajarkan bermain chitara (sejenis gitar) atau seruling.
Sedangkan untuk sastra diajarkan menulis atau mendeklamasikan puisi, atau
menulis apapun. Demikian adalah corak atau sistem pendidikan di Athena,
olahraga, musik dan sastra. Karena yang menjadi tujuan pendidikan Athena pada
zaman itu adalah aner kalos k’agathos,
yang berarti orang yang indah dan baik. Dalam artian agar orang-orang Athena
berpenampilan indah dan berperilaku baik.
Pendidikan pada masa Sokrates
Menurut para sejarawan, Sokrates lahir pada tahun 469
SM. Namun banyak yang mengatakan, tidak diketahui persis kapan Ia dilahirkan.
Yang jelas hanya bahwa pada tahun 399 SM, ia dijatuhi dengan hukuman mati,
dengan harus meminum racun. Sumber lain mengatakan Ia memilih meminum racun
daripada dipenggal kepalanya.
Berbicara mengenai pendidikan, maka tidak bisa lepas
dari pengetahuan. Menurut Sokrates, pengetahuan adalah kebajikan, dan kebajikan
merupakan sarana untuk mencapai kebahagiaan. Kebajikan dalam hal ini adalah
kebajikan yang universal/luas. Seperti misalnya, tukang sol sepatu, akan dikatakan
melakukan kebajikan jika melakukan pekerjaannya dengan baik dan
sungguh-sungguh. Hal tersebut sudah berarti pengetahuan menurut Sokrates. Oleh
karena itu, menurutnya hidup baik berarti : mempraktekkan pengetahuannya
tentang hidup baik itu (Hadiwijono, 1980 : 37).
Jadi, dalam konteks ini pendidikan atau pengetahuan
tidak hanya terbatas pada lingkup sekolah formal saja. Tetapi inilah makna
pendidikan di mata Sokrates. Pendidikan atau pengetahuan diimplementasikan
kearah pemahaman dan penyadaran. Apabila informasi yang sudah dipunyai
seseorang tidak diimplementasikan untuk kebajikan, maka Ia belumlah
melaksanakan pendidikan tersebut.
Sebelum masa Sokrates, praktik-praktik pendidikan
sudah berjalan. Pada masa itu dikenal dengan masa sofisme, yakni merupakan aliran atau gerakan dalam bidang pengetahuan
atau intelektual. Menurut Hadiwijono (1980) sebutan sofis mengalami
perkembangan. Sebelum abad ke 5 istilah itu berarti sarjana atau cendikiawan,
seperti Pythagoras, Demokritos, dan lainnya. Setelah abad ke 4, para sarjana
atau cendikiawan tersebut bukan lagi disebut sofis, tetapi filosofos. Sedangkan
sofis merupakan sebutan untuk para “guru” yang berkeliling dari kota ke kota
untuk mengajar, namun mengharapkan atau bahkan meminta imbalan berupa uang.
Mengenai metode pendidikan pengajaran ala Sokrates,
lazim disebut metode dialektika, atau Tanya jawab. Implementasinya, Ia
berkeliling kampung di Athena, dan bertanya jawab dengan semua lapisan
masyarakat seperti kaum sofis, negarawan, ilmuwan, sampai tukang-tukang atau
pedagang kecil mengenai persoalan tertentu. Singkatnya, Sokrates tidak
memandang apapun dalam mencari pengetahuannya tersebut. apapun jawabannya, atau
mengenai apa yang mereka ketahui dan tidak diketahui. Dan satu hal penting yang
membedakan Sokrates dengan kaum sofis, yakni Ia tidak memungut atau
mengharapkan uang atau materi apapun dari orang-orang yang diajak
berdialektika.
Sokrates biasanya akan bertanya dengan apa yang sedang
dikerjakan orang yang ditanyai tersebut, sampai pertanyaan-pertanyaan yang
dikemukakannya tersebut kadang “meyesatkan” orang yang ditanyai, hingga
mangsanya pada akhirnya mengakui kekeliruannya. Atau dibiarkannya orang yang
ditanyai itu mengikuti jalan pikirannya yang salah sampai bersangkutan tidak
dapat keluar lagi dari permasalahan yang dikemukakanya sendiri dan terpaksa
mengakui kesesatannya (Said & Affan, 1987 : 149-150).
Dalam hal ini pertanyaan-pertanyaan atau pengertian
yang dilontarkan oleh Sokrates bersifat kontradiktif bahkan ironis dengan
pengetahuan yang sudah ada sebelumnya. Dengan metode “ironis” tersebut,
Sokrates ingin memberantas anggapan yang keliru dan memperoleh pengertian yang
murnidengan jalan memakai memakai pikiran sendiri. Dengan demikian, metode
pendidikan Sokrates tersebut bertentangan dengan para kaum sofis yang cenderung
hanya “memberi kuliah”.
Dibawah ini adalah sebuah dialog dari Sokrates dengan
seorang pensiunan jenderal perang :
Socrates: Aku ingin meminta pendapat anda
tentang keberanian, tidak saja pada tingkatan infantri tetapi juga kavaleri dan
pada semua bentuk pertempuran. Bukan hanya keberanian bertempur tetapi juga
keberanian berlayar di laut, menghadapi penyakit dan kemiskinan serta masalah
kemasyarakatan. Disamping itu juga keberanian menghadapi nafsu dan kenikmatan
yang sama sulitnya dihadapi, baik dengan cara maju atau pun mundur, karena
bukankah memang ada manusia yang dikatakan berani dalam segala bidang ini,
wahai Laches?
Laches:
Ya, benar.
Socrates:
Jadi semua itu bisa dianggap sebagai keberanian, hanya saja ada manusia yang mengemukakannya
dalam kenikmatan, ada yang dalam kepedihan, ada yang dengan nafsu, dan juga ada
yang dalam mara bahaya. Begitu pula dengan adanya yang memperlihatkan
kepengecutan dalam keadaan-keadaan yang sama.
Laches:
Benar adanya.
Socrates:
Sekarang, yang ingin aku ketahui ialah apa yang dimaksud dengan kedua sifat
itu. Jadi tolong beritahukan kepadaku, apa yang menjadi ciri-ciri umum
keberanian yang terdapat pada semuanya? Pahamkah anda apa yang aku maksud?
Hal yang sering dilakukan Sokrates
dalam dialektikanya adalah mengajak orang untuk mencari pengertian yang lebih
mendalam dan mencari tahu mengapa mereka melakukan perbuatan yang dilakukannya,
mengapa mereka mengatakan demikian, dan sebagainya. Sokrates juga sering
“memancing” para generasi muda agar mereka merenungkan tingkah lakunya.
Pendidikan
pada masa Plato
Plato adalah salah satu murid
Sokrates yang dikatakan cerdas. Ia belajar pada Sokrates pada umur 20 tahun,
dan sekitar 7 tahun sesudahnya Sokrates meninggal. Ketika Sokrates meninggal, Ia
tidak mewariskan pemikirannya dalam bentuk tulisan. Tetapi hanya meninggalkan
wejangan lisan terhadap murid-muridnya. Salah satunya adalah kepada Plato.
Plato hanya sekitar 7 tahun menjadi murid Sokrates. Namun Ia berhasil
menuliskan pemikiran gurunya tersebut dalam bentuk tulisan. Tidak sedikit juga
yang kemudian diadopsi dalam pemikirannya.
Di dalam bukunya yang berjudul Republic, Ia sangat menekankan pendidikan untuk
mewujudkan negara idealnya. Plato mengatakan
bahwa tugas pendidikan adalah membebaskan dan memperbaharui; ada pembebasan
dari belenggu ketidaktahuan dan ketidakbenaran. Pembebasan dan
pembaharuan itu akan membentuk manusia yang utuh, yaitu manusia yang berhasil
menggapai segala keutamaan dan moralitas jiwa, yang akan mengantarnya ke ide
yang tertinggi yaitu kebajikan, kebaikan, dan keadilan.
Pada masa Plato ini walaupun
menekankan pengetahuan/pendidikan, namun tetap memperhatikan aplikasinya. Ia
menghendaki bahwa pendidikan bertugas untuk membebaskan belenggu
ketidakbenaran. Begitu pun dengan konsep moralitas jiwa yang mengacu pada
kebajikan, kebaikan, dan keadilan. Seperti halnya Aristoteles.
Kontribusi
lain dalam pendidikan diantaranya adalah mendirikan sebuah sekolah yang diberi
nama academia. Tujuan Plato
mendirikan sekolah tersebut diantaranya adalah memberikan pendidikan yang
maksimal dalam ilmu pengetahuan dan filsafat. Tujuan lainnya adalah memperbaiki
moral masyarakat yang ketika itu sedang mengalami penurunan moral akibat penaklukkan
Sparta terhadap Athena. Mengenai pendidikan yang mengarah kepada perbaikan
moral, Rapar (2001) mengatakan bahwasannya Pemahaman bahwa Plato memiliki
perhatian yang sangat tinggi pada pendidikan berdasarkan latar belakang
kehidupan di negara Athena saat itu sedang berada di ambang kehancuran. Sparta mulai menaklukkan Athena dan membatasi
wilayahnya hanya pada wilayah Attica saja. Kemudian salah satu factor
kematian gurunya (Aristoteles) adalah akibat sanksi social masyarakat yang
mudah dihasut oleh orang-orang yang membenci Aristoteles.
Menurut
Plato, jiwa manusia disusun dalam tiga lapisan golongan, yang tiap-tiap
golongan mempunyai potensi dan sifat tertentu, yakni : 1) golongan pemerintah
berpotensi dalam bidang politik dan pemerintahan, yang sifatnya bijaksana
(mengutamakan akal dan fikiran). 2) golongan penjaga negeri (polisi, tentara,
dan sebagainya) berpotensi untuk menjaga keamanan negara, yang sifatnya
pemberani. 3) golongan pekerja dan penghasil berpotensi untuk bekerja dan
menghasilkan, karena keinginan atau kebutuhan.
Dengan
sistem tersebut, Plato “mendidik” masyarakatnya dengan mempertimbangkan
kebutuhan negara. Jadi, menurutnya pendidikan merupakan sarana penyaring utuk
mendapatkan orang-orang yang sesuai dalam bidangnya. Baik pelaksana
pemerintahan, penjaga negara (baik militer maupun sipil), dan pekerja atau
penghasil produk tertentu, tentu saja merupakan sesuatu yang harus dipenuhi
dalam penyelenggaraan negara (pemerintahan). Hal ini pula yang mungkin
menginspirasi kaisar China pada masa dinasti Han, yakni kaisar Han Wu Ti untuk
melakukan adanya ujian pegawai sipil, sehingga muncullah apa yang disebut
dengan kaum gentry.
Pada
masa ini, anak-anak sampai usia 6 tahun dianjurkan untuk memakai ayunan,
sesuatu yang bersifat mainan anak-anak, dongeng, dan cerita para dewa. Antara
umur 7 sampai 18 tahun musik dan gerak badan (gymnastic) menjadi mata pelajaran
penting. Pengertian musik dalam hubungan ini lebih luas daripada pengertiannya
sekarang. Menurut pengertian Yunani lama, menari, sastra, dan sejarah, masuk ke
dalam pengertian musik itu sendiri (Said & Affan, 1987 : 152).
Ketika
anak berusia 10 tahun, selama kurang lebih 3 tahun diajarkan membaca dan
menulis. Disamping itu, disertai pula dengan olah raga (gymnastik) yang
meliputi renang, lempar lembing, dan cakram. Kemudian tentu saja musik.
Sehingga keduanya akan menimbulkan harmoni atau keseimbangan. Olah raga akan
menimbulkan harmoni dalam gerakan perilaku, sedangkan musik akan menimbulkan
harmoni pada jiwa.
Pada
masa dewasa remaja, sekitar usia 17 sampai 20 tahun anak didik mulai diajarkan
latihan olah raga yang cukup berat, kemiliteran, dan tentu saja musik dan
sastra. Kemudian pada umur 21, mereka diarahkan dan ditempatkan untuk menjadi
pengaman negara atau militer dengan tugas sesuai pengetahuan atau pendidikan
yang dimiliki. Kepada para anggota muda, dapat dikatakan hanya menjalankan
tugas yang tidak berat. Sebaliknya, kepada para anggota yang cukup senior akan
mendapatkan tugas sesuai jam terbangnya.
Untuk
dapat mencapai tingkat atau golongan pemerintahan, dengan sifat yang bijaksana,
maka memerlukan pendidikan, pengetahuan, dan jam terbang yang banyak. Untuk
dapat masuk dalam pemerintahan, salah satu syaratnya adalah berumur minimal 50
tahun, dengan menguasai ilmu hitung, ilmu ukur, ilmu bintang, dan musik, atau
yang dikenal dengan quadrivium. Hal
ini bertujuan agar orang-orang yang duduk dipemerintahan adalah orang yang
sudah dewasa, dan mampu bersikap bijak. Tidak hanya itu, menurut ajaran Plato
yang kemudian diterapkan pada masanya, adalah bahwa negarawan atau pemangku
pemerintahan hendaklah seorang sarjana (orang yang cerdik pandai, bijaksana,
dan sebagainya) sekaligus filsuf yang mempunyai banyak pengalaman.
Pendidikan
pada masa Aristoteles
Smith (1986) mengatakan
bahwa Aristoteles
adalah seorang cendekiawan dan intelek terkemuka, mungkin sepanjang masa. Umat
manusia telah berhutang budi padanya untuk banyak kemajuannya dalam filsafat
dan ilmu-ilmu pengetahuan, khususnya logika, metafisika, politik, etika,
biologi, dan psikologi. Aristoteles dilahirkan pada tahun 384 S.M. di Stagira,
suatu kota kecil di Semenanjung Chalci diceyang menonjol di sebelah barat laut Laut Egea. Ayahnya, Nichomachos
yang sebagai dokter merawat Amyntas II, raja Macedonia, mengatur agar
Aristoteles menerima pendidikan yang lengkap pada awal masa kanak-kanak dan
mungkin kemudian mengajarnya dalam pengamatan gejala-gejala penyakit dan teknik
pembedahan.
Dengan
latar belakang keluarga yang mumpuni tersebut, Aristoteles sangat banyak memperoleh
pengetahuan. Apalagi dalam kalangan istana, sebagai anak seorang “dokter”
istana, dan tentunya dekat pula dengan kehidupan istana, Aristoteles tidak
hanya memperoleh pengetahuan dari orang tuanya, tetapi juga dari para guru-guru
istana.
Menurut Hadiwijono (1980), Ketika
mencapai umur 18 tahun, Aristoteles dikirim ke Athena untuk berguru kepada Plato.
Jika Plato adalah murid dari Sokrates, maka Aristoteles adalah murid dari
Plato. Menurut sumber, Aristoteles hidup antara tahun 384-323 SM. Ia kurang
lebih 20 tahun berguru kepada Plato. Sebagaimana gurunya, Ia pun mendirikan
sekolah dengan nama di Assos (Asia kecil) pada tahun 346 SM, kemudian pada
tahun 342 SM Ia kembali ke Athena dan mendirikan Lyceum di Athena, Ia mengajar
sekitar 12 tahun di sekolah tersebut. semasa hidup, Ia banyak menuangkan
gagasanya dalam buku dan tentu saja Ia merupakan guru dari Alexander Agung,
raja Macedonia pada waktu itu..
Jika
Plato adalah seorang idealis, maka Aristoteles adalah seorang realis. Sebagaimana
dikatakan Hadiwijono (1980) bahwa Aristoteles lebih menekankan pada
penyelidikan empiris dan berbalik dari berspekulasi, mengindahkan yang kongkrit
dan individual. Dengan dasar itulah Aristoteles berpendapat bahwa perbudakan
merupakan sesuatu yang memang seharusnya ada dalam masyarakatnya (Yunani). Said
& Affan (1987) menambahkan bahwa menurut Aristoteles, pendidikan hanyalah
untuk orang yang merdeka, dengan pendidikan liberalnya. Kemudian anak kecil
dianggap oleh Aristoteles masih berada dalam taraf yang sama dengan tingkat
hewan. Itulah sebabnya anak didik perlu banyak diberikan permainan, cerita atau
dongeng, serta harus banyak diberikan kesempatan untuk melakukan perbuatan
tertentu.
Pada
usia anak-anak sampai menjelang dewasa, sistem pendidikan pada masa Aristoteles
Nampak tidak terdapat perbedaan yang besar. pendidikan jasmani yang tidak hanya
untuk kepentingan lomba atletik atau militer, tetapi juga untuk membiasakan
perbuatan-perbuatan yang positif. Jiwa yang penuh nafsu dan bernaluri juga,
diberikan pelajaran sastra dan musik dengan tujuan memperhalus jiwa dan budi.
Keduanya merupakan pelajaran yang penting untuk pendidikan kesusilaan.
Memasuki usia remaja (awal dewasa),
sekitar 21 tahun, anak-anak didik diberikan pelajaran yang bersifat rasional
dan memasuki ranah intelektual. Sesuai dengan gagasan Aristoteles yang
mengedepankan pendidikan liberal realistis, dan tentu saja identik dengan
pendidikan akal, maka pelajaran yang diberikan pun lebih dominan pendidikan
liberal seperti ilmu hitung, ilmu ukur, ilmu bintang, musik, gramatika,
retorika, etika, politik, ilmu hayat, ilmu jiwa, dan filsafat, yang dikatakan
oleh Said & Affan (1987) terdiri dari logika dan metafisika.
Gagasan-gagasan atau sistem
pendidikan pada masa Aristoteles inilah yang sebagian besar diadopsi oleh Barat,
dan mendominasi sistem pendidikan di Barat sekarang. Yakni pendidikan yang
bersifat intelektualistis dan mengedepankan akal atau sesuatu yang rasional dan
realistis. Tentunya dengan perubahan-perubahan pada sisi tertentu oleh ilmuwan
sesudahnya.
Kesimpulan
Ketika menganalisis pendidikan dengan analisis model
structural fungsional, maka pendidikan merupakan sebuah sarana untuk melakukan
mobilitas sosial (khususnya vertical), proses sosialisasi, atau sebagai alat
pengendalian sosial. Terlepas dari analisis model konflik, maka hal tersebut
merupakan output yang ideal, tentunya dengan sistem pendidikan yang ideal pula.
Setuju atau tidak, pada zaman Yunani klasik dapat
dikatakan sistem pendidikanya ideal, dalam artian sesuai kebutuhan bangsa, negara,
dan tentu saja terdapat unsur “demokratis” dan “militeristik” . Dimana baik pada
masa Sokrates, Plato, Aristoteles, anak-anak diberikan pelajaran yang sesuai
dengan potensi otak dan usianya. Walaupun pada masa Aristoteles cenderung diarahkan
kepada hal yang mengedepankan akal. Namun tetap, hal tersebut merupakan sesuatu
yang ideal, dimana orang-orang ditempatkan sesuai dengan perannya.
Daftar Pustaka
Buku
Dimyati & Mudjiono (2006). Belajar dan pembelajaran. Jakarta: Rhineka Cipta
Hadiwijono, Harun (1980). Sari Sejarah Filsafat Barat I. Yogyakarta: Kanisius
Rapar, J. H. (1991). Filsafat Politik Plato. Jakarta: CV Rajawali.
(2001). Filsafat Plotik Plato Aristoteles
Augustinus Machiavell. Grafindo: Jakarta.
Ridwan, Juniarso & Achmad Sodik. (2010). Tokoh-Tokoh Ahli Pikir Negara & Hukum.
Bandung: Nuansa.
Said, Muh. & Junimar Affan. (1987). Mendidik dari
Zaman ke Zaman. Bandung: Jemmars.
Saripudin, Didin (2010). Interpretasi Sosiologis dalam
Pendidikan. Bandung: Karya Putra Darwati
Smith, S. (1986). Gagasan-Gagasan Besar
Tokoh-Tokoh dalam Bidang Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Toynbee, Arnold (2007). Sejarah Umat Manusia : Uraian
Analitis, Kronologis, Naratif, dan Komparatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Internet
="http://www6.shoutmix.com/?iwayanputra">
(http://id.wikipedia.org/wiki/Plato)
(http://id.wikipedia.org/wiki/Sokrates)
Surat Kabar
Harian Umum Pikiran Rakyat edisi
15 Desember 2011